BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Rasulullah SAW bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal. Barangsiapa berpegang
kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, dua hal
tersebut adalah Kitab Allah dan Sunnahku.”
Oleh karena itu Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbeum dei (kalamu-Allah) yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Jibril selama kurang lebih 23
tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar
kemampuan apapun. Seperti firmankan Allah swt dalam surat Al-Hasyr ayat 21 yang
artinya: “Seandainya Kami turunkan
Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah
belah karena gentar kepada Allah.”[1]
Kandungan pesan Illahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu
telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum muslimin
dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat muslim mengawali eksistensinya dan
memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Al-Qur’an
berada tepat di jantung kepercayaan muslim dan berbagai pengalaman
keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al-Qur’an, kehidupan,
pemikiran dan kebudayaan kaum muslimin tentunya akan sulit dipahami.[2]
Al-Qur’an memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab
suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab
ini telah digunakan kaum muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi
tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan,
dan memperkukuh identitas kolektif.[3]
Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum muslimin,
serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi keluarga.[4]
Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan
kewajiban setiap muslim.
Sejumlah pengamat Barat memandang Al-Qur’an sebagai suatu
kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.[5]
Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah
khusus bagi mereka.[6] Masa
pewahyuannya yang terbentang sekitar 20 tahunan, merefleksikan
perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan
ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat
bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.[7]
Kaum muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya telah menghasilkan berton-ton
kitab tafsir yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian,
sejumlah besar mufassir muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung
bagian-bagian mutasyabihat yang
menurut mereka maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Sejak pewahyuannya hingga kini, Al-Qur’an telah
mengarungi sejarah panjang selama 14 abad lebih. Diawali dengan penerimaan
pesan ketuhanan Al-Qur’an oleh Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada
generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya secara tertulis,
hingga stabilisasi teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad
ke-3 H dan abad ke-4 H serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standart
Al-Qur’an di Mesir pada 1342 H, kitab suci kaum muslimin ini masih menyimpan
sejumlah misteri dalam berbagai tahapan perjalanan kesejahteraannya.[8]
Oleh karena itu perlu bagi kita sebagai kaum muslimin
untuk mempelajari Al-Qur’an sebagaimana materi yang akan dibahas dalam makalah
ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW?
2.
Bagaimana proses penyimpanan Al-Qur’an dalam tulisan dan hafalan?
3.
Bagaimana nilai keaslian dan otentisitas dokumen, arsip, tulisan mushaf
Al-Qur’an?
4.
Bagaimana pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar?
5.
Bagaimana pembukuan Al-Qur’an ke-II oleh Utsman?
6.
Bagaimana usaha menjaga keaslian arsip Al-Qur’an?
7.
Bagaimana kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
2.
Mengetahui proses penyimpanan Al-Qur’an dalam tulisan dan hafalan.
3.
Mengetahui nilai keaslian dan otentisitas dokumen, arsip, tulisan mushaf
Al-Qur’an.
4.
Mengetahui pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar.
5.
Mengetahui pembukuan Al-Qur’an ke-II oleh Utsman.
6.
Mengetahui usaha menjaga keaslian arsip Al-Qur’an
7.
Mengetahui kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses Turunnya Wahyu Allah Kepada Nabi Muhammad SAW
Secara syar’i wahyu berarti kalam Allah yang diturunkan
kepada seorang Nabi.[9]
Sedangkan Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu dalam Risalatut Tauhid adalah
“pengertahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai
keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun
tidak.”[10]
Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi disampiakan kepada Nabi
Muhammad saw melalui proses yang disebut inzal, yaitu proses perwujudan Al-Qur’an (izhhar
Al-Qur’an) dengan cara: Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril, kemudian
Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad.[11]
Ada juga ulama yang membedakan antara al-inzal dan
al-tanzil. Yang pertama berarti proses turunnya Al-Qur’an ke al-lawh
al-mahfuzh, sedangkan yang kedua berarti proses penyampaian Al-Qur’an dari al-lawh
al-mahfuzh kepada Nabi melalui Jibril.[12]
Terdapat
beberapa pendapat mengenai proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw,
antara lain sebagai berikut:
1. Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke al-lawh
al-mahfuzh. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Buruj ayat 21 yang
artinya “bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia. Yang
di simpan di al-lawh al-mahfuzh.
2. Al-Qur’an diturunkan ke al-lawh al-mahfuzh
ke langit bumi sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada
Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun.[13]
Menurut
Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan adalah:
Pertama,diturunkan di Lauhul Mahfudz
menurut cara yang mengetahuinya hanya Allah dan siapa yang diperlihatkan akan
hal-hal yang gaib. Kedua, dari Luahul Mahfudz ke Baitul Izzah
di langit dunia yang diturunkan dalam suatu malam. Ia disifatkan oleh Al-Qur’an
dengan Lailati Mubarakaatin. Ketiga, dari Baitul Izzah ke bumi ke hati
para Nabi dan Rasul terakhir yaitu Rasulullah saw. Ini ialah tahap akhir yang
bercahaya padanya kemanusiaan, secara keseluruhan, bagi manusia di bumi. Ia
dibawa oleh jibril.[14]
Turunnya
Al-Qur’an secara berangsur-angsur mempunyai beberapa hikmah. Menurut Manna
al-Qattan adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
mengehuhkan hati Nabi Muhammad saw mengingat watak keras masyarakat yang
dihadapi Nabi, dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memperkuat
hati Nabi. Tidak sedikit ayat yang secara langsung meminta Nabi untuk bersabar
dalam mengembangkan misinya, seperti Q.S. Al-An’am ayat 33-34 dan Q.S. Al-Ahqaf
ayat 35.
b.
Sebagai mukjizat. Mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi dari
kaum kafir, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang bernada memojokkan, seperti
tentang hal-hal gaib, Nabi merasa terbantu dengan turunnya ayat yang menjelaskan
pertanyaan tersebut. Hal ini juga diakui
dalam Q.S. Al-Furqan ayat 33.
c.
Untuk
memudahkan hafalan dan pemahaman Al-Qur’an. Sekiranya Al-Qur’an turun
sekaligus, sulit untuk segera dihafal dan dipahami isinya.
d.
Untuk
menerapkan hukum secara bertahap. Penghapusan beberapa tradisi masyarakat Arab
secara serentak amat sulit. Dengan proses dan pentahapan, lambat laun
masyarakat tersebut lebih bisa menerima hukum-hukum baru dari Al-Qur’an.
e.
Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an adalah bukan rekayasa Nabi Muhammad atau
manusia biasa. Meskipun rangkaian ayat-ayatnya turun selama kurang lebih 23
tahun, tetapi kandungannya tetap konsisten
secara keseluruhan.[15]
B.
Proses Penyimpanan Al-Qur’an Dalam Tulisan dan Hafalan
Proses penyimpanan Al-Qur’an dimulai dengan kegiatan
mengumpulkan. Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) adalah: Pertama,
pengumpulan dalam arti hifdzuhu (menghafalkannya
dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya Huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya di dalam hati). Kedua,
pengumpulan dalam arti Kitabuhu
Kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya baik dengan memisahkan ayat-ayat dan
surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis
dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan sura-surahnya
dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagaimana
ditulis sesudah bagian yang lain. Ketiga,
pengumpulan dalam arti merekam suara bacaan Al-Qur’an yaitu pelestarian
Al-Qur’an dengan cara merekam pita suara.[16]
Pada masa Rasulullah saw masih hidup ayat ayat hanya
dihafal dalam hati. Yang mula-mula hafal dan pandai membacanya hanya
Rasulullah. Beliau senantiasa menunggu-nunggu akan turunnya Al-Qur’an dengan
kerinduan dan hendak cepat membacanya, sehingga ia dimantapkan Allah dalam
waktu membacanya.[17]
Maka Allah menurunkan firmannya dalam surat Al-Qiyaamah ayat 16-18 yang
artinya: “janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah untuk mengumpukan dan membacanya, apabila
Kami telah selesai membacanya ikutilah bacaannya.”[18]
Setelah itu para sahabat Rasulullah ikut menghafal
A-Qur’an karena senang mereka terhadap dasar agama Islam dan sumber kerasulan.
Setiap ada ayat yang turun, maka dihafal dalam hati dan dipeliharakan hati,
disamping kuatnya bangsa Arab mengenai ingatan sebagai ganti ketiidakmampuan
mereka membaca kasara dalam menuliskan berita, syair, keturunan hanya dengan
menyimpannya dalam hati mereka. Banyak para sahabat Rasulullah yang hafal
Al-Qur’an sehingga diriwayatkan dalam hadis-hadis bahwa ada 70 orang di zaman
Rasulullah yang gugur syahid para Qari, di telaga Ma’uunah. 70 orang pula pada
peperangan Yamammah. Kejadian itu mendorong para sahabat hendak mentadarus
Al-Qur’an dan menghidupkan malam mereka dengannya. Rasulullah sendiripun
mendorong mereka untuk itu dan beliau sedia mendengarkan bacaan mereka.[19]
Upaya lain yaitu menuliskan Al-Qur’an di zaman Rasulullah
sehingga beliau mengangkat jadi juru tulis wahyu dari tokoh-tokoh sahabat
seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai binKa’ab, Zaid bin Tsabit dan Muawiyah.[20]
Bila ayat telah turun, maka Rasululah menyuruh mereka
menuliskannya dan menunjukkan di surat mana letaknya. Sebagian sahabat
menuliskannya atas kemauan sendiri. Mereka tulislah ayat pada daun kering,
kulit binatang kering, pelepah korma kering, perca-perca, pecahan alat dari
tanah liat dan tulang-tulang yang bersih. Para sahabat membacakan tulisannya
kepada Rasulullah sebagai mencek kebenarannya, baik berbentuk hafalan atau tulisan.
Menurut ulama, bahwa yang paling akhir mencek itu adalah Zaid bin Tsabit,
sehingga kalifah Abu Bakar dan kalifah Utsman menunjukknya sebagai ketua
panitia pengumpul Al-Qur’an. Semua diambil dari hafalan di hati, yang ditulis
dengan huruf. Sebelumnya Al-Qur’an itu tidak ditulis pada satu keping mushaf
saja, karena Al-Qur’an turun terpencar-pencar dan sewaktu-waktu. Ayat-ayat dan
surat-suratnya belum berurut dalam satu keping mushaf. Masa ini dsebut dengan
pengumpulan pertama dari Al-Qur’an dengan panitia 26 orang.[21]
C.
Nilai Keaslian dan Otentisitas Dokumen, Arsip, Tulisan
Mushaf Al-Qur’an
Keaslian al-Qur’an di kalangan
Muslim adalah suatu kepastian, susunan dan materinya. Selain karena penjagaan
Allah, hal ini tidak lepas dari usaha Rasulullah dan para penerusnya hingga
saat ini dalam menjaga keaslian al-Qur’an; huruf perhuruf, ayat perayat, hingga
surat dan susunannya. Dengan begitu umat Muslim terhindar dari peringatan Allah
swt. untuk tidak merubah al-Qur’an sebagaimana yang pernah dilakukan oleh umat
sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan kitab-kitab
yang terdahulu – Taurat, Zabur, Injil- maka Al-Qur’anlah yang paling bisa
dikatakan lebih otentik karena beberapa hal :[22]
·
Ditulis saat Rasulullah masih hidup,
dengan larangan penulisan masalah lainnya yaitu hadits, sehingga kemungkinan
adanya pencampuran adalah kecil. Sementara yang lain seperti Perjanjian Lama
yang merupakan himpunan kitab/fasal, ditulis selama lebih dari dua abad setelah
musnahnya teks asli pada zm. Nebukadnezar, yang ditulis kembali berdasarkan
ingatan semata oleh seorang pendeta Yahudi yang bernama Ezra dan dilanjutkan
oleh pendeta – pendeta Yahudi atas perintah raja Persia , Cyrus pada tahun 538
sebelum Masehi.
·
Al-Qur’an masih memakai bahasa asli
sejak wahyu diturunkan yaitu Arab, bukan terjemahan. Bagaimanapun terjemah
telah mengurangi keotentikan suatu teks.
Bibel sampai ketangan umatnya dengan Bahasa Latin Romawi. Bahasa Ash Taurat adalah Ibrani, sedang bahasa Ash Injil adalah Aramaik. Keduanya disajikan bersama dalam paket Bibel berbahasa Latin yang disimpan dan disajikan untuk masing-masing negara melalui bahasanya sendiri-sendiri, dengan wewenang penuh untuk mengubah dan mengganti sesuai keinginan.
Bibel sampai ketangan umatnya dengan Bahasa Latin Romawi. Bahasa Ash Taurat adalah Ibrani, sedang bahasa Ash Injil adalah Aramaik. Keduanya disajikan bersama dalam paket Bibel berbahasa Latin yang disimpan dan disajikan untuk masing-masing negara melalui bahasanya sendiri-sendiri, dengan wewenang penuh untuk mengubah dan mengganti sesuai keinginan.
·
Al-Qur’an banyak dihafal oleh umat
Islam dari zaman Rasulullah sampai saat ini. Sedangkan Bibel, boleh dibilang
tidak ada. Jangankan dihapal, di Indonesia sendiri Bibel umat Katolik baru
boleh dibaca oleh umatnya pada tahun 1980.
·
Materi Al-Qur’an tidak bertentangan
dengan akal, dan relevan sepanjang masa. Sementara Bibel mengandung banyak
hal-hal yang tidak masuk akal dan mengandung pornografi.
Dapat diketahui
bahwa otentisitas dan orisinalitas Al-Qur’an sepanjang sejarahnya tetaplah
terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka tidak perlu diragukan lagi
keaslian Al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan melalui perantara
malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu Nabi Muhammad saw.,
sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa Arab maupun non Arab.
Bukti historis telah memberikan data yang akurat akan keasliaannya. Hal ini
dapat dilihat dari tiga sisi, antara lain:
1. Ini disebabkan
karena bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak dimiliki oleh
bahasa lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar kata (asal kata).
Maka maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut, sebagaimana dilihat dari
definisi Al-Qur’an itu sendiri yang tidak jauh dari makna asal katanya yaitu
membaca. Sehingga Al-Qur’an berarti bacaan.
2. Proses
pembukuan dan pembakuan Al-Qur’an dimulai sejak Rasulullah saw, setiap kali
menerima wahyu Al-Qur’an, Rasulullah langsung mengingat, menghafalnya dan
memberitahukan dan membacanya kepada para sahabat agar mereka mengingat dan
menghafal pula. Namun, demi menjamin terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an,
beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah
menginformasikan bahwa setiap ayat turun, Nabi Muhammad saw memanggil para
sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya.
Sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya.
3. Setiap
periwayatan di dalam mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an juga menjadi salah
satu standar keotentikan Al-Qur’an. Sehingga tidak hanya bersandar kepada data-data
tertulis seperti beberapa mushaf yang ditulis oleh para sahabat sesuai dengan
pemahamannya akan turunnya ayat per ayat tau mushaf yang telah di himpun pada
masa Abu Bakar. Periwayatan ini lebih menekankan kepada kepercayaan perawi
(sosok kepribadian perawi) bahwa ia seorang yang adil dan kuat hafalannya. Dari
sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir.[23]
D.
Pembukuan Al-Qur’an Oleh Abu Bakar
Di masa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, terjadi perang Yamamah pada tahun
12 H. Banyak terjadi pembunuhan dikalangan sahabat, akibatnya para penghafal
Al-Qur’an banyak yang wafat. Dalam perang ini, para sahabat penghafal Al-Qur’an yang
wafat di medan perang mencapai 70 orang. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin
Khathab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an. Maka
beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur’an yang masih ada di
lembaran-lembaran. Pada awalnya Abu Bakar ragu menerima usulan Umar bin Khathab
karena hal ini belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, namun karena Umar
bin Khathab terus mendesak akhirnya Abu Bakar menerima usulan tersebut. Abu
Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit menjadi coordinator tim pengumpulan
Al-Qur’an.terpilihnya Zaid karena kecerdasannya dalam bidang baca tulis dan
pemahamannya yang mendalam tentang Al-Qur’an. Setelah Zaid bin Tsabit menerima
penjelasan dari Abu Bakar dan Umar bin Khathab, tugas tersebut bisa
dilaksanakan dengan baik.[24]
Pengumpulan
Al-Qur’an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para
huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di
hadapan Rasulullah SAW. Lembaran-lembaran Al-Qur’an tersebut tidak diterima,
kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan
Rasulullah SAW. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2) Harus dihafal
oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Saking telitinya,
hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa
dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-Taubah
tersebut ditulis di hadapan Rasululllah SAW, kecuali kesaksian Khuzaimah saja.
Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa
Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah
sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah,
walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat Al-Qur’an, namun mereka tidak
hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas
pengumpulan Al-Qur’an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui,
bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur’an untuk ditulis dalam satu
mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di
hadapan Rasulullah SAW ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran
Al-Qur’an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Setelah Abu
Bakar wafat lembaran-lembaran Al-Qur’an berada pada Umar bin Khathab. Kemudian
setelah Umar bin Khathab wafat lembaran-lembaran Al-Qur’an bersama Ummul
Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.[25]
E.
Pembukuan Al-Qur’an Ke-II Oleh Utsman
Masa pemerintahan Amirul Mu`minin
Utsman bin Affan. Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang
bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca
Al-Qur’an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan bacaan Ubay
bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh
penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Qur’an dengan
bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh
penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling
mengkafirkan di antara sesama muslim. Perbedaan bacaan tersebut juga
terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.[26]
Setiap pembaca menggunakan bacaannya masing-masing dan menyalahkan bacaan orang
lain sehingga permasalahan tersebut menjadi besar dan perselisihan pun semakin
memuncak. Kenyataan ini mengejutkan Utsman dan dia khawatir bahwa akibat dari
perselisihan ini akan mengurangi keyakinan terhadap Al-Qur’an dan bacaannya
yang telah pasti dan merupakan pegangan kaum muslimin.
Kekhawatiran
akan perpecahan umat Islam akhirnya terjadi. Hal ini terbukti dengan munculnya
perang Armenia, perang yang terjadi antara penduduk Syam dengan penduduk Irak
yang dipicu oleh perbedaan bacaan Al-Qur’an. Kemudian Utsman bermusyawarah
dengan sahabat mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Kemudian Utsman dan para
sahabat sepakat untuk menyatukan umat Islam pada satu mushaf agar tidak terjadi
pertentangan dan perselisihan dalam masalah bacaan tersebut. kemudian Utsman
mengirimkan lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, yang setelah wafat
berpindah kepada Umar kemudian keterangan Hafshah untuk dijadikan pijakan dalam
menghimpun Al-Qur’an. Kemudian Utsman
menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan
Addurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin lembaran tersebut ke dalam
mushaf.[27]
F.
Perbedaan antara Pembukuan Abu Bakar dan Utsman
Pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan
pengumpulan yang dilakukan Utsan dalam motif dan caranya.[28]
Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena
banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban
dari para Qari. Sedangkan motif Utsman dalam mengumpulkan Al-Qur’an ialah
karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an yang disaksikannya
sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang
lain.
Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah
memindahkan satu tulisan atau catatan Al-Qur’an yang semula bertebaran di
kulit-kulit binatang , tulang, peleah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu
mushaf, dngan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam
satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan
yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika
Al-Qur’an itu diturunkan.[29]
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Utsman adalah
menyalinnya menjadi satu huruf di anatara ketujuh huruf itu, untuk
mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca
tanpa keenam huruf lainnya. Ibnu Tin dan yang lain mengatakan:”perbedaan antara
pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar
disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur’an karena
kematian penghafalnya, sebab ketika itu Al-Qur’an belum terkumpul disatu
tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan
menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah
kepada mereka. Sedang pengumpulan Utsman sebabnya adalah banyaknya perbedaan
dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing
dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan, khawatir
akan timbulnya bencana, Utsman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran
itu dalam satu mushaf dengan menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya
pada bahasa quraisy saja dengan alasan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
mereka (quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan
bahasa selain quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan
demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu
logat saja. Al-Haris al-Muhasibi mengatakan “Yang masyhur dikalangan orang
banyak ialah bahwa pengumpul Al-Qur’an itu Utsman. Padahal sebenarnya tidak
demikian, Utsman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam wajah
(qiraat), itupun atas dasar kesepakatan antara dia dan dengan kaum muhajirin
dan anshor yang hadir dihadapannya. Serta setelah ada kekhawatiran timbulnya
kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam
cara qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Al-Qur’an diturunkan.
Sedang yang lebih dulu mengumpulkan Al-Qur’an secara keseluruhan adalah Abu
Bakar.[30]
Dengan usahanya itu Utsman telah berhasil menghindarkan
timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Al-Qur’an
dari penambahan dan penyimpangan sepangjang zaman. Para ulama berbeda pendapat
tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Utsman ke berbagai daerah:
a.
Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya 7 buah mushaf yang dikirimkan ke
Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud
mengatakan: “aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata:’telah ditulis 7 buah
mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam,
Basyrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah.”
b.
Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada 4 buah masing-masing dikirimkan ke Iraq,
Syam, Mesir dan mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan
Mushaf Imam berkata Abu Amr ad-Dani dalam al-Muqni.” Sebagian ulama berpendapat
bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak 4 buah salinan dan
ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing 1 buah: ke Kuffah, Basyrah, Syam dan
ditinggalkan 1 buah untuk dirinya sendiri.”
c.
Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya 5. As-Suyuti berkata bahwa
pendapat inilah yang masyhur.[31]
G.
Usaha Menjaga Keaslian Arsip Al-Qur’an
Usaha menjaga keaslian arsip Al-Quran telah dilakukan
sejak Rasulullah menerima wahyu, yaitu:
1.
Pengumpulan Al-Qur’an dengan menghafalnya pada masa Rasulullah;
2.
Pengumpulan Al-Qur’an dengan penulisan yang dilakukan mulai masa Rasulullah
dan diikuti dalam setiap masanya, seperti pada masa kalifah Abu Bakar, kalifah
Utsman bin Affan;
3.
Pengumpulan Al-Qur’an dengan rekaman suara bacaan.
Yang
dimaksud dengan memelihara Al-Qur’an melalui rekaman adalah pelestarian
Al-Qur’an dengan cara merekam pita suara.
Sudah diketahui bahwa terdapat hukum-hukum bacaan (tajwid) yang harus
diperhatikan oleh pembaca Al-Qur’an. Hukum tersebut seperti Qalqalah, ar-raum,
al-ikhfa’, al-idgham dan lain-lain. Hal ini bukanlah hal mudah karena cukup
menyulitkan dalam penulisan.
Oleh
karenanya para ulama menetapkan bahwa tidak sah berpegang kepada yang tertulis
dalam mushaf belaka, akan tetapi harus menerima dari orang yang hafal Al-Qur’an
yang dipercaya. Para ulama mengatakan,:”bencana
terbesar adalah berguru kepada lembaran-lembaran kasar.” Bahkan para ulama
mengatakan: “jangan kalian mempelajari
Al-Qur’an dari mushafku, juga jangan mengambil ilmu dari suhufku.”[32]
Rasulullah
mengutus orang-orang yang ahli membaca Al-Qur’an (Qurra) kepada orang yang baru
masuk Islam untuk mengajarkan bacaan Al-Qur’an serta kalau mungkin menuliskan
untuk mereka. Pada masa khalifah meninggal Rasulullah mereka mengikuti jejaknya
dan mereka mengutus ahli-ahli baca Al-Qur’an ke negeri-negeri taklukan untuk
mengajar warga negaranya membaca Al-Qur’an. Ketika Utsman menyalin mushaf,
beliau mengirim mushaf-mushaf ke negerinegeri tersebut dengan didampingi oleh
seorang ahli baca Al-Qur’an pada masing-masing mushaf.
Tidak
diragukan lagi, hal ini menunjukkan bahwa betapa hukum-hukum bacaan tidak
mungkin kuat, kecuali lewat penerimaan lisan secara langsung. Untuk menguatkan
hanya bisa lewat media yang merupakan metode para ahli baca Al-Qur’an.
sementara pada masa sekarang, media dan alat perekam suara telah ditemukan dan
bacaan bisa di ulang kembali.
Hasil
produk rekaman ini adalah al-Mushaf
al-Murotal yang diprakarsa oleh
Urtadz Labib as-Said. Yang dimaksud al-Mushaf
al-Murotal adalah bentuk rekaman yang memperdengarkan Al-Qur’an dengan
peralatannya berupa perangkat rekaman modern, sejumlah kaset dan piringan
hitam. Adapun sebab-sebab yang menasari upaya ini adalah:
1)
Tuntutan pelestarian Al-Qur’an;
2)
Memudahkan memahami Al-Qur’an serta menghafalkannya;
3)
Pentingnya mempertahankan Al-Qur’an dalam menghadapi para “pencela”
Al-Qur’an, serta menghadapi setiap usaha untuk menyelewengkan Al-Qur’an, juga
setiap halangan yang diletakkan di depan kesatuan pengikut-pengikutnya, serta
didepan penyebarannya, pembagiannya diantara orang-orang Islam. Hal ini bisa
ditumbuhkan dalam studio, audio, dan sejenisnya;
4)
Menolong Mushaf AL-Utsmani yang
telah mempersatukan umat Islam.
5)
Menghindari berbagai penyimpangan terhadap Al-Qur’an;
6)
Penyebaran bahasa Al-Qur’an dan memperkokoh persatuan umat Islam.
H.
Perbandingan Kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel
Jika
dibandingkan dengan kitab-kitab yang terdahulu – Taurat, Zabur, Injil- maka Al-Qur’anlah
yang paling bisa dikatakan lebih otentik karena beberapa hal :
1. Ditulis
saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, dengan larangan penulisan masalah lainnya
yaitu hadits, sehingga kemungkinan adanya pencampuran sangat kecil. Sementara
yang lain seperti Perjanjian Lama yang merupakan himpunan kitab/fasal, ditulis
selama lebih dari dua abad setelah musnahnya teks asli pada zaman Nebukadnezar,
yang ditulis kembali berdasarkan ingatan semata oleh seorang pendeta Yahudi
yang bernama Ezra dan dilanjutkan oleh pendeta – pendeta Yahudi atas perintah
raja Persia , Cyrus pada tahun 538 sebelum Masehi.
2. Al-Qur’an
masih memakai bahasa asli sejak wahyu diturunkan yaitu Arab, bukan terjemahan.
Bagaimanapun terjemah telah mengurangi keotentikan suatu teks.
Bibel sampai ketangan umatnya dengan Bahasa Latin Romawi. Bahasa Asli Taurat adalah Ibrani, sedang bahasa Asli Injil adalah Aramaik. Keduanya disajikan bersama dalam paket Bibel berbahasa Latin yang disimpan dan disajikan untuk masing-masing negara melalui bahasanya sendiri-sendiri, dengan wewenang penuh untuk mengubah dan mengganti sesuai keinginan.
Bibel sampai ketangan umatnya dengan Bahasa Latin Romawi. Bahasa Asli Taurat adalah Ibrani, sedang bahasa Asli Injil adalah Aramaik. Keduanya disajikan bersama dalam paket Bibel berbahasa Latin yang disimpan dan disajikan untuk masing-masing negara melalui bahasanya sendiri-sendiri, dengan wewenang penuh untuk mengubah dan mengganti sesuai keinginan.
3. Al-Qur’an
banyak dihafal oleh umat Islam dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai saat ini.
Sedangkan Bibel, boleh dibilang tidak ada. Jangankan dihafal, di Indonesia
sendiri Bibel umat Katolik baru boleh dibaca oleh umatnya pada tahun 1980.
4. Materi
Al-Qur’an tidak bertentangan dengan akal, dan relevan sepanjang masa. Sementara
Bibel mengandung banyak hal-hal yang tidak masuk akal dan mengandung
pornografi.[33]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
1.
Proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah memlaui
perantara malaikat Jibril dari Lauhul Mahfudz dan secara berangsur-angsur dalam
kurun waktu kurang lebih 23 tahun.
2.
Proses penyimpanan Al-Qur’an dalam tulisan dan hafalan dilakukan dengan
hafalan dalam hati oleh para huffaz dan menuliskannya dalam pelepah pohon,
tulang, kulit dan daun kering.
3.
Nilai keaslian dan otentisitas dokumen, arsip, tulisan mushaf Al-Qur’an
terbukti dengan tetap menggunakan bahasa Arab, pembukuan dilakukan sejak
Rasulullah masih hidup dan periwayatannya mutawatir.
4.
Pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar motifnya adalah untuk menghindari
hilangnya Al-Qur’an karena Huffaz banyak yang meninggal dalam peperangan.
5.
Pembukuan Al-Qur’an ke-II oleh Utsman motifnya adalah untuk menyamakan
bacaan agar tidak teradi perselisihan.
6.
Usaha menjaga keaslian arsip Al-Qur’an dilakukan dengan cara Pengumpulan
Al-Qur’an dengan menghafalnya pada masa Rasulullah; Pengumpulan Al-Qur’an
dengan penulisan yang dilakukan mulai masa Rasulullah dan diikuti dalam setiap
masanya, seperti pada masa kalifah Abu Bakar, kalifah Utsman bin Affan;
Pengumpulan Al-Qur’an dengan rekaman suara bacaan
7.
Kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel.
B.
Saran
1.
Mahasiswa harus lebih meningkatkan pengetahuan dan pembelajaran tentang
Al-Qur’an karena bukan hal yang mustahil tindakan penyelewengan dan pencela
terhadap Al-Qur’an akan tetap ada, dan jika para ahli sudah tidak ada maka
tidak akan ada yang bisa dijadikan patokan serta pembendung dari tindakan
tersebut.
[4] Montgomerry W. Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburgh:
Edinburgh Univ. Press, 1970), hal. xi
[11]
Muhammad Badruddin al-Zarkasi, Al-Burhan
fi ‘ulum al-Qur’an, Juz I, (Mesir:Isa al-Bab al-Halabi, t.t), hal. 229
[12]
Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur’an,(Jakarta:Pustaka
Firdaus, 2008), hal. 18
[13]Ibid.,
[15]
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj. Muzakkir AS:
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta:Litera Antar Nusa, 1994), hal 157
[22] Abiy Rikza, Sejarah Pembukuan dan Pembakuan Al-Qur’an http://answeringkristen.wordpress.com/sejarah-dan-keaslian-al-qur%E2%80%99an/ diakses
tanggal 26 Oktober 2012
[23] Abiy Rikza, Sejarah Pembukuan dan Pembakuan Al-Qur’an, http://answeringkristen.wordpress.com/sejarah-dan-keaslian-al-qur%E2%80%99an/ diakses
tanggal 26 Oktober 2012
[24]
Muhammad bin Mahmud Abu Syiban, Studi Ulum Al-Qur’an Alih Bahasa (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1992), 24.
[27] Muhammad
bin Mahmud Abu Syiban, Studi Ulum Al-Qur’an Alih Bahasa ,… hal. 24.
[33] Sejarah Keaslian Al-Qur’an dalam http://answeringkristen.wordpress.com/sejarah-dan-keaslian-al-qur%E2%80%99an/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar