Rabu, 20 Februari 2013

KHILAFAH FATIMIAH


A.    SEJARAH PEMBENTUKAN KHILAFAH FATIMIAH
Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, saat kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi kelompok Syiah, Khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Munculnya gerakan Fatimiyah, yang di Afrika Utara mencapai kekuasaannya di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte syiah ismailiyah yang doktrin-doktrinnya berdimensi politik, agama, filsafat dan sosial dan para pengikutnya mengharapkan kamunculan al-Mahdi. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi saw melalui Ali dan Fatimah melalui garis Isma’il, putra Ja’far as-Sadiq. Namun musuh-musuh mereka manolak bahwa asal-usul mereka tersebut adalah dari Ali, menuduh mereka panipu dan sesuai dengan kebiasaan Arab kuno untuk memberi asal-usul Yahudi pada orang-orang yang mereka benci; Ubaidillah dituduh sebagai keturunan Yahudi. Sampai sekarang pun asal-usul mereka tersebut masih belum diketahui kepastiannya.[1]
Di Afrika Utara, kelompok Syiah Ismailiah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 Ubaidillah al-Mahdi memproklamirkan berdirinya Khalifah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mangkonsolidasikan khilafahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah asy-syi’i, seorang dai Ismailiyah yang sangat berperan dalam mendirikan Daulah Fatimiyah di Tunis. Waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar.[2]
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khilafah Fatimiyah di bawah al-Mu’izz (Khalifah keempat) dengan panglimanya Jauhar al-Katib as-Siqilli dapat menguasai Mesir pada tahun 969. Ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadi ibukota Khilafah Fatimiah pada masa-masa selanjutnya.[3]
Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah, Khalifah dengan gelar Mu’iz sistem pemerintahan dibenahi dengan membagi-bagi wilayah propinsi menjadi sebuah distrik dan mempercayakannya kepada pejabat-pejabat yang cakap, ia juga menertibkan bidang kemiliteran, industri dan perdagangan mengalami kemajuan pesat dan melakukan gerakan pembaharuan.
Dinasti Fatimiyah merupakan Khilafah beraliran syi’ah yang berkuasa di Mesir tahun 297/909 M sampai 567/1171 M selama kurang lebih 262 tahun).[4] Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang dinisbahkan kepada pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297-332 H / 909-934 M). orang-orang Fatimiyah disebut juga kaum Alawi yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib.[5] Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri daulah Fatimi mempunyai silsilah keturunan yang berasal dari Ali bin Abi Thalib seperti halnya sisilah imam-imam Syiah Para penguasa yang pernah berkuasa adalah:[6]
1.      Ubaidullah al-Mahdi (296-322 H / 909-934 M)
2.      Al-Qa’im Muhammad Abul Qasim bin al-Mahdi (322-334 H / 934-946 M)
3.      Al-Manshur Ismail Abu Thohir bin al-Qa’im (334-341 H / 946-952 M)
4.      Al-Mu’iz Ma’ad Abu Tamim bin al-Manshur (341-365 H / 952-975 M)
5.      Al-Aziz Billah bin al-Mu’iz (365-386 H / 975-996 M)
6.      Al-Hakim Biamrillah bin al-Aziz (386-411 H / 996-1021 M)
7.      Azh-Zhahir Ali Abu Hasan bin al-Hakim (411-427 H / 1021-1035 M)
8.      Al-Mustanshir Billah bin azh-Zhahir (427-487 H / 1035-1094 M)
9.      Al-Musta’li bin al-Mustanshir (487-495 H / 1094-1101 M)
10.  AL-Amir bin al-Musta’li (495-524 H / 1101-1130 M)
11.  Al-Hafizh bin Muhammad bin al-Mustanshir (524-544 H / 1130-1149 M)
12.  Azh-Zhafir bin al-Hafizh (544-549 H / 1149-1154 M)
13.  Al-Fa’iz bin azh-Zhafir (549-555 H / 1154-1160 M)
14.  Al-Adhid bin Yusuf bin al-Hafizh (555-567 H / 1160-1171 M).

B.     MASA KEMAJUAN KHILAFAH FATIMIAH
Sumbangsih Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar baik dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang ilmu pengetahuan mencapai kemajuan zaman al-Aziz yang bijaksana . Kemajuan tersebut terlihat dari berbagai bidang dintaranya:
1.      Kondisi Sosial Politik dan Pemerintahan
Bentuk pemerintahan pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan bentuk pemerintahan sebagai pola baru dalam sejarah Mesir, dalam pelaksanaannya khalifah adalah Kepala yang bersifat temporal dan spiritual dimana pengangkatan sekaligus pemecatan pejabat tinggi dibawah kontrol Khalifah.[7]
Pengelolaaan negara yang di lakukan Dinasti Fatimiyah dengan mengangkat para Menteri dan Diasti Fatimiyah membagi kementerian menjadi dua kelompok:[8]
Pertama, kelompok Militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok:
1.      Pejabat tinggi militer dan pengawal khalifah.
2.      Petugas keamanan.
3.      Resimen-resimen.
Kedua, kelompok sipil yang terdiri atas:
1.      Qadhi (hakim dan direktur percetakan uang);
2.      Ketua dakwah yang memimpin Dar al-Hikam (pengkajian);
3.      Inspektur pasar(pengawasan pasar, jalan, timbangan, dan takaran);
4.      Bendaharawan negara (menangani Bait al-Mal);
5.      Kepala urusan rumah tangga raja;
6.      Petugas pembaca Alqur’an;
7.      Sekertaris berbagai departemen. Selain pejabat pusat, disetiap dairah terdapat pejabat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola dairahnya.Admistrasi pemerintahan dikelola oleh dairah setempat.
Tidak jauh berbeda dengan peradaban yang terjadi pada zaman sekarang bahwa peradaban Islam pada masa lalu memberikan sumbangsih pemikiran tentang pemerintahan dimana, seorang Kepala negara dipimpin oleh peresiden dan para pembantu peresiden adalah seorang menteri dan berikut para kepala dairah yang di sebut dengan gubernur dan masing-masing dairah berhak mengelola dairahnya masing sesuai dengan amanat Undang-undang otonomi daerah.[9]
Dalam sistim politik pmerintahan, dinasti Fatimiyah memiliki dua opsi, yaitu politik dalam negeri dan luar negeri. Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yakni berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Ismailiyah dan menjadikan mazhab ini sebagai mazhab yang utama di negara Mesir dan wilayah negeri yang berada di bawahnya. Dalam hal ini khalifah al-Aziz sangat menunjukkan sikap baik terhadap orang yahudi dan Nasrani sebagaimana ayahnya, Ia menikahi perempuan Nasrani dan untuk itu Ia bertoleransi dalam pendirian gereja diwilayahnya.[10]
Kemudian dalam politik luar negeri dinasti ini memberikan nuansa kehawatiran terhadap dinasti Abbasyiah karena penguasaan atas wilayah ini akan menaikkan derajat Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hijaz.Penguasa atas wilayah ini akan sangat memudahkan dalam menguasai wilayah Bagdad pada masa itu, karena itu Khalifah Abbasyiah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti Fatimiyah yang pada ahirnya terjadi peperangan antara Buwaihi dan Fatimiyah.
Demikian juga dengan kemajuan pemerintahan Fatimiyah dalam bidang administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat kedudukannya dalam pemerintahan sebagaimana Syi'ah. Toleransi beragama dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan.[11]
Demikian pula pada masa pemerintahan Muiz dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan besar. Al-Muiz melaksanakan tiga kebijaksanaan besar yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, toleransi beragama, dalam bidang admistrasi Ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan, kemudian dalam bidang ekonomi ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya begitu juga dengan bidang agama, di Mesir.[12]
2.      Kondisi Keagamaan
Masalah agama adalah masalah penting dalam Dinasti Fatimiyah. Negara dan agama tidak dapat dipisahkan. Bahkan dinasti ini dibangun dan dikembangkan berdasarkan aliran keagamaan dalam Islam, yakni Syiah Ismailiyah. Ajaran agama ini dijadikan pilar utama dalam menegakkan Negara. Dinasti Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat ini, meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua, seperti Yahudi, Nasrani, orang Turki dan Sudan.[13]
Oleh karena Dinasti Fatimiyah berlangsung 262 tahun Masehi atau 271 tahun Hijriah, dan terdiri dari empat belas orang khalifah, maka sulit untuk mengukur, sampai dimana kepedulian dinasti ini terhadap keberagamaan masyarakat pada rentang waktu yang cukup panjang itu. Namun pembahasan ini dapat lihat dari:
Pertama, penyebaran ajaran syiah. Telah diketahui bahwa dinasti ini dibangun dari pondasi Syiah dan bermotif untuk menyebarkan ajaran Syiah. Ada beberapa kasus yang terjadi sebagai usaha pemerintahan ini untuk mendakwahkan ajaran mereka, di antaranya:
1.    Membunuh bagi orang yang tidak mengakui ajaran Syiah Ismailiyah yang ditetapkan sebagai mazhab resmi negara. Pada tahun 391 H, Khalifah al-Hakim pernah membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui fadhilah Ali bin Abi Thalib.[14]
2.    Larangan memuji aliran lain dan bahkan mencacinya. Diterangkan bahwa Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut (memuji) Bani Abbasiyah dalam setiap khutbah Jumat dan mengharamkan memakai jubah hitam serta atribut Bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.[15] Pada tahun 395 H, Khalifah al-Hakim pernah memerintahkan agar di masjid-masjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat, yang tidak mendukung ajaran mereka seperti Abu Bakar, Umar, dll.[16]
Hal ini dilakukan al-Hakim, kemungkinan, karena Khalifah Abbasiyah: al-Qadir pernah mengeluarkan sebuah manifesto di Baghdad yang ditandatangani oleh beberapa tokoh Sunni dan Syiah. Manifesto itu menyatakan bahwa saingannya yang orang Mesir, yakni al-Hakim bukan keturunan Fatimiyah, tapi keturunan Daisan, seorang pelaku bid’ah.[17]
3.      Menawarkan jabatan dan pangkat. Ketika al-Mu’iz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan al-Mu’iz sendiri menganut faham Syiah. Oleh karena itu, al-Mu’iz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan hakim dari Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syiah, dan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Dari sini, pejabat Fatimiyah yang Sunni beralih ke Syiah, supaya jabatannya meningkat.
Pada masa yang sama, banyak gubernur yang diangkat oleh Khalifah Abbasiyah, yang bermazhab Ahlu Sunnah, berpindah dan mengikuti mazhab Syiah Ismailiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh penganut agama Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Ismailiyah, ketika mereka ditawarkan jabatan tertentu dalam pemerintahan.[18]
Keberhasilan dakwah ini meraih pengikut yang banyak, sehingga masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Syiah Ismailiyah.[19]
Kedua, sikap terhadap agama lain. Telah dijelaskan bahwa Khalifah al-Mu’iz memberikan kesempatan kepada agama lain untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan bahkan menaikkan pangkat jabatan, kalau mereka rela memeluk agama Islam dan beraliran Syiah Ismailiyah. Khalifah al-Aziz lebih jauh melangkah, beliau mengangkat wazirnya dari kalangan Kristen, serta memiliki isteri yang beragama Kristen. Philip K. Hitti, dalam History of The Arabs-nya menjelaskan, di masa khalifah ini memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan perilaku ini dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen: Isa bin Nasthur, dan istrinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerusalem.[20]
Kondisi yang menggambarkan kerukunan antarumat beragama ini dirusak oleh Khalifah al-Hakim. Beliau menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen pada tahun 1009.[21] Lebih lanjut, Hitti menjelaskan, al-Hakim memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi keledai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi. Sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng. Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II, yang menetapkan aturan-aturan yang ketat kepada kalangan non-muslim. Jika tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan ahl dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama kristen, Ibn Abdun, dan tindakan itu merupakan salah satu sebab utama terjadinya Perang Salib.[22]
Dalam Sejarah Islam (Tarikh Pramodren), K. Ali menjelaskan bahwa salah satu faktor runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap penguasa Fatimiyah. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen: masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.[23]

3.      Kondisi Intekektual
Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap perkembangan ilmu pegetahuan dan  intelektual. Hal ini terbukti ketika pembangunan Masjid Al-Azhar dan Dar al-Hikmah, serata melahirkan banyak pakar dalam pelbagai disiplin ilmu.
Ajid Thohir dalam Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam menyebutkan, dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan falsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah Ikwan al-Shofa. Dalam falsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah Ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah terutama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan syariah dan filsafat Yunani.[24]
a.    Masjid Al-Azhar
Hasan Asari dalam Menyingkap Zaman Keemasan Islam menjelaskan, pada masa klasik Islam, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi dibading dengan fungsinya sekarang. Dulu, di samping sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Lebih dari itu masjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam.[25] Hal yang sama juga terjadi di Masjid al-Azhar.
Pada masa Khalifah al-Mu’iz, Mesir berhasil ditaklukkan. Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang mengagumkan ini adalah Jauhar ash-Shiqilli, orang Sisilia. Aslinya adalah seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium, mungkin Sisilia, yang dari sana ia dibawa sebagai seorang budak ke Kairawan. Segera atas kemenangannya terhadap kota Fusthat pada tahun 969 M, Jauhar mulai mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah. Kota ini, Kairo modern, menjadi pusat kota Fatimiyah sejak tahun 973 M. Setelah mendirikan ibu kota baru, yang sekarang menjadi kota paling ramai di Afrika, Jauhar mendirikan Masjid Agung al-Azhar, yang kemudian oleh Khalifah al-Aziz dikembangkan menjadi universitas besar.[26]Semenjak didirikannya, Masjid al-Azhar menjadi pusat pengkajian Islam dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan.[27]
b.    Dar al-Hikam/Dar al-Ilmi
Dar al-Hikam atau dikenal juga Dar al-Ilmi yang didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 M sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syiah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim menyuntikkan dana yang 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan dengan istana kerajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian ilmu-ilmu ke-Islman, astronomi, dan kedokteran. Meskipun pada tahun 1119 ditutup oleh al-Malik al-Afdhal karena dianggap menyebarkan ajaran bid’ah, institusi ini masih bisa bertahan sampai kedatangan Bani Ayyubiyah.[28]
c.       Aktor Intelektual
Pada masa dinasti ini, muncul sejumlah ulama dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bahkan, secara pribadi, al-Hakim sendiri tertarik pada perhitungan-perhitungan astrologi. Dia membangun di Muqattam sebuah observatorium yang sering ia kunjungi, sambil berjalan-jalan sebelum fajar menunggangi keledainya. Seorang nara sumber yang dikutip oleh sejarawan kontemporer, Ibnu Hammad, melihat sebuah perangkat terbuat dari tembaga menyerupai astrolobe yang didirikan oleh al-Hakim di atas dua menara untuk mengukur tanda-tanda zodiak. Panjang astrolobe itu sekitar tiga jengkal.[29]
Di antara pakar dan aktor intelektual pada dinasti ini adalah sebagai berikut:
1.    Ya’cub bin Killis.
Beliau adalah seorang wazir pada kekhalifahan al-Mu’iz dan al-Aziz. Ia adalah seorang Yahudi dari Baghdad yang masuk Islam. Berkat karir pilitiknya yang meningkat dan kecakapannya di bidang administrasi, berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi sehingga negeri itu mencapai kemakmuran di sepanjang sungai Nil. Dan dikabarkan Ibn Killis juga adalah tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir.[30] Bahkan, Ya’cub rela rumahnya dijadikan tempat belajar bagi murud-muridnya.[31]
2.      Muhammad at-Tamimi.
Seorang dokter yang lahir di Yerusalam dan pindah ke Mesir sekitar tahun 970. Beliau adalah ahli fisika dan kedokteran.[32]
3.      Al-Kindi.
Muhammad bin Yusuf al-Kindi adalah seorang sejarawan ternama yang meninggal dunia di Fusthat pada tahun 961 M. Di antara karyanya adalah Kitab al-Wulah wa Kitab al-Qudhah. Buku ini telah diedit oleh R. Guest dan dicetak di Leiden pada tahun 1908.[33]
4.      An-Nu’man.
Beliau adalah ahli hukum dan pernah menjabat sebagai hakim.[34]
5.      Ali ibn Yunus.
Seorang astronom hebat yang pernah dilahirkan Mesir ini meninggal pada tahun 1009, pada masa pemerintahan al-Hakim.[35]
6.      Ali al-Hasan ibn al-Haitsami (w. + 1039 M).
Ibnu Haitsam adalah peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia dilahirkan di Bashrah sekitar tahun 965. dalam bahasa Latin, ia lebih dikenal dengan sebutan Alhazen. Dalam pelbagai penelitiannya, ia pernah mencoba untuk mengatur aliran sungai Nil yang mengalir setiap tahun. Ketika percobaannya gagal, ia berpura-pura gila dan menyembunyikan diri dari kemarahan sang khalifah, sampai sang khalifah meninggal dunia. Ia menulis tidak kurang dari seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran. Karya terbesar yang patut dicatat adalah Kitab al-Munazhir, mengenai ilmu optik. Edisi buku asli ini telah hilang, tetapi sudah diterjemahkan pada masa Gerald dari Cremona atau sebelumnya, dan sudah diterbitkan dalam bahasa Latin pada tahun 1572. kitab ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu optik pada abad pertengahan. Hampir semua penulis tentang optik pada abad pertengahan menjadikan karya warisan Alhazen sebagai rujukan utama; karya-karya Roger Bacon, Leonardo da Vinci, dan Jonathan Kepler menunjukan adanya jejak-jejak pengaruh dari kitab itu. Dalam karyanya Ibnu al-Haitsam menentang teori Euclid dan Ptolemius yang mengatakan bahwa mata mengirimkan cahaya visual pada objek yang dilihat. Ia juga melakukan percobaan untuk menguji sudut pantulan cahaya. Dalam beberapa percobaan tertentu ia mendekati penemuan teoritis tentang lensa pemesar yang menjadi prototipe lensa yang dibuat tiga abad kemudian di Italia.[36]
7.      Ammar ibn Ali al-Maushili. Karyanya adalah al-Muntakhab fi ‘Ilaj al-Ayn, muncul di Mesir pada masa kekuasaan al-Hakim. Dalam hal ini para sejarawan menyatakan bahwa karya ini jauh lebih orisinal ketimbang Tadzkirah karya Ibnu Isa, ilmuan lain yang sezaman dengannya. Berkat kelengkapannya, kitab ini menjadi standar dalam disiplin penyakit mata, optalmologi. Ammar menjelaskan dasar-dasar operasi katarak yang belum parah dengan mengisapnya melalui lobang pembuluh. Praktek operasi ini merupakan salah satu penemuannya.[37]
8.      Abu Abdillah An-Nasafi. Ia telah menulis kitab al-Maushul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah usul mazhab-mazhab Islam. Selahjutnya ia menulis kitab Unwanuddin, Ushulusyar’i, Adda’watu Munjiyah. Kemudian ia juga menulis buku tentang ilmu falak dan sifat alam dengan judul Kaunul alam dan al-Kaunul Mujraf.[38]

Pada masa al-Muntashir, kegagalan dan kemunduran kerajaan yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan kemunduran lebih besar dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan. Perpustakaan itu sendiri mulai didirikan pada masa al-Aziz, dan ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksemplar al-Quran yang dihiasi ornamen-ornamen indah. Salah satu koleksi langkah perpustakaan ini adalah naskah-naskah hasil karya Ibnu Muqlah dan ahli-ahli kaligrafi lainnya. Di perpustakaan ini pula al-Aziz menyimpan salinan tulis tangan buku sejarah karya at-Tabari. Dalam peristiwa perebutan rampasan perang pada tahun 1068, seorang sejarawan menyaksikan sekitar 25 ekor unta membawa pergi buku-buku itu. Naskah-naskah yang berharga itu digunakan sebagai bahan bakar untuk membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki, sedangkan bagian sampulnya yang tebal dan mewah dijadikan untuk tambalan sepatu budak-budak mereka.[39]

C.    MASA KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KHILAFAH FATIMIAH
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.  Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten.  Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa  ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret  Daulah Fatimiyah  dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.[40]
Al-Hâkim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya. [41]
Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hâkim.[42]
Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir.  Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat.  Sementara di Palestina sering terjadi pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.[43]
Az-Zâhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah. [44]
Al-Amin kemudian   digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir.  Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut  oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya  pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.[45]
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan  menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy. Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.[46]


[2]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007), hal. 78
[3]Ibid.,
[4]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004) hal. 81
[6]Muhammad Jamaluddin Surur, at-Daulah al-Fatimiyah fi Mashr (Kairo: Dar- al-Fikr al-Arabi, 1979) hal. 132

[7]Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. Jahdan Ibnu humam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), hal. 45
[8]AhmadSyalabi,. Sejarah Kebudayaan Islam. Vol. III. (Jakarta: Alhusna Zikra, 1997), hal. 56

[9]Ibid.,
[10]Ibid., hal 62
[11]Ibid.,
[12]Ibid.,
[13]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia... hal 97
[14]Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 154
[15]Ibid.,
[17][17]Ibid.,
[18]Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 157
[19]Ibid.,                                                                                 
[20]Philip K. Hitti, History of The Arabs, penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dkk. (Jakarta: Serambi, 2005) hal 178
[21]Ibid.,
[22]Ibid.,
[23]K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodren) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal 97
[24]Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004) hal. 78
[25]Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Ciptapustaka Media, 2007), hal 56
[26]Ibid.,
[28]Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam.... hal. 62
[29]K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodren) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal 86

[31]Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), hal. 79
[32]Ibid., hal. 80
[33]Ibid.,
[34]Ibid.,
[35]Ibid., hal. 82
[36]Ibid., hal 82-83
[37]Ibid., hal 84
[38]Ibid., hal 85
[40]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher, 2007), hal. 91
[41]Ibid., hal 92
[42]Ibid.,
[43]Ibid.,
[44]Ajiraksa, Dinasti Fatimiyah, http://ajiraksa.blogspot.com/2012/06/kekhalifahan-dinasti-fatimiyah.html di akses tanggal 9 Nopember 2012

[45]Ibid.,
[46]Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar