A.
SEJARAH PEMBENTUKAN KHILAFAH FATIMIAH
Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula
dari masa menjelang akhir abad ke-10, saat kekuasaan Dinasti Abbasiyah di
Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasikan
lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti
kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara
sendiri. Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari
kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi
kelompok Syiah, Khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Munculnya gerakan Fatimiyah, yang di
Afrika Utara mencapai kekuasaannya di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi,
berakar pada sekte syiah ismailiyah yang doktrin-doktrinnya berdimensi politik,
agama, filsafat dan sosial dan para pengikutnya mengharapkan kamunculan al-Mahdi.
Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi saw melalui Ali dan Fatimah melalui garis
Isma’il, putra Ja’far as-Sadiq. Namun musuh-musuh mereka manolak bahwa
asal-usul mereka tersebut adalah dari Ali, menuduh mereka panipu dan sesuai
dengan kebiasaan Arab kuno untuk memberi asal-usul Yahudi pada orang-orang yang
mereka benci; Ubaidillah dituduh sebagai keturunan Yahudi. Sampai sekarang pun
asal-usul mereka tersebut masih belum diketahui kepastiannya.[1]
Di Afrika Utara, kelompok Syiah
Ismailiah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 Ubaidillah al-Mahdi
memproklamirkan berdirinya Khalifah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan
Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mangkonsolidasikan khilafahnya di Tunisia
dengan bantuan Abdullah asy-syi’i, seorang dai Ismailiyah yang sangat berperan
dalam mendirikan Daulah Fatimiyah di Tunis. Waktu itu muncul juga
perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung
Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia maupun
kelompok Khawarij dan Barbar.[2]
Setelah basis kekuasaan di Tunis
kuat, Khilafah Fatimiyah di bawah al-Mu’izz (Khalifah keempat) dengan
panglimanya Jauhar al-Katib as-Siqilli dapat menguasai Mesir pada tahun 969. Ia
mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota
kemenangan dan kemudian menjadi ibukota Khilafah Fatimiah pada masa-masa
selanjutnya.[3]
Mesir memasuki era baru di bawah
pemerintahan Fatimiyah, Khalifah dengan gelar Mu’iz sistem pemerintahan
dibenahi dengan membagi-bagi wilayah propinsi menjadi sebuah distrik dan
mempercayakannya kepada pejabat-pejabat yang cakap, ia juga menertibkan bidang
kemiliteran, industri dan perdagangan mengalami kemajuan pesat dan melakukan
gerakan pembaharuan.
Dinasti Fatimiyah merupakan Khilafah
beraliran syi’ah yang berkuasa di Mesir tahun 297/909 M sampai 567/1171 M
selama kurang lebih 262 tahun).[4]
Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang dinisbahkan kepada
pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297-332 H / 909-934
M). orang-orang Fatimiyah disebut juga kaum Alawi yang dihubungkan dengan
keturunan Ali bin Abi Thalib.[5]
Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri daulah Fatimi mempunyai silsilah keturunan
yang berasal dari Ali bin Abi Thalib seperti halnya sisilah imam-imam Syiah
Para penguasa yang pernah berkuasa adalah:[6]
1. Ubaidullah al-Mahdi (296-322 H / 909-934 M)
2. Al-Qa’im Muhammad Abul Qasim bin al-Mahdi (322-334 H / 934-946 M)
3. Al-Manshur Ismail Abu Thohir bin al-Qa’im (334-341 H / 946-952 M)
4. Al-Mu’iz Ma’ad Abu Tamim bin al-Manshur (341-365 H / 952-975 M)
5. Al-Aziz Billah bin al-Mu’iz (365-386 H / 975-996 M)
6. Al-Hakim Biamrillah bin al-Aziz (386-411 H / 996-1021 M)
7. Azh-Zhahir Ali Abu Hasan bin al-Hakim (411-427 H / 1021-1035 M)
8. Al-Mustanshir Billah bin azh-Zhahir (427-487 H / 1035-1094 M)
9. Al-Musta’li bin al-Mustanshir (487-495 H / 1094-1101 M)
10. AL-Amir bin al-Musta’li (495-524 H / 1101-1130 M)
11. Al-Hafizh bin Muhammad bin al-Mustanshir (524-544 H / 1130-1149 M)
12. Azh-Zhafir bin al-Hafizh (544-549 H / 1149-1154 M)
13. Al-Fa’iz bin azh-Zhafir (549-555 H / 1154-1160 M)
14. Al-Adhid bin Yusuf bin al-Hafizh (555-567 H / 1160-1171 M).
B.
MASA KEMAJUAN KHILAFAH FATIMIAH
Sumbangsih Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar baik
dalam sistim pemerintahan maupun dalam bidang ilmu pengetahuan mencapai
kemajuan zaman al-Aziz yang bijaksana . Kemajuan tersebut terlihat dari
berbagai bidang dintaranya:
1.
Kondisi Sosial Politik dan Pemerintahan
Bentuk
pemerintahan pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan bentuk pemerintahan sebagai
pola baru dalam sejarah Mesir, dalam pelaksanaannya khalifah adalah Kepala yang
bersifat temporal dan spiritual dimana pengangkatan sekaligus pemecatan pejabat
tinggi dibawah kontrol Khalifah.[7]
Pengelolaaan
negara yang di lakukan Dinasti Fatimiyah dengan mengangkat para Menteri dan
Diasti Fatimiyah membagi kementerian menjadi dua kelompok:[8]
Pertama, kelompok
Militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok:
1.
Pejabat tinggi militer dan pengawal
khalifah.
2.
Petugas keamanan.
3.
Resimen-resimen.
Kedua, kelompok
sipil yang terdiri atas:
1.
Qadhi (hakim dan direktur percetakan
uang);
2.
Ketua dakwah yang memimpin Dar
al-Hikam (pengkajian);
3.
Inspektur pasar(pengawasan pasar, jalan,
timbangan, dan takaran);
4.
Bendaharawan negara (menangani Bait
al-Mal);
5.
Kepala urusan rumah tangga raja;
6.
Petugas pembaca Alqur’an;
7.
Sekertaris berbagai departemen.
Selain pejabat pusat, disetiap dairah terdapat pejabat setingkat gubernur yang
diangkat oleh khalifah untuk mengelola dairahnya.Admistrasi pemerintahan dikelola
oleh dairah setempat.
Tidak jauh
berbeda dengan peradaban yang terjadi pada zaman sekarang bahwa peradaban Islam
pada masa lalu memberikan sumbangsih pemikiran tentang pemerintahan dimana,
seorang Kepala negara dipimpin oleh peresiden dan para pembantu peresiden adalah
seorang menteri dan berikut para kepala dairah yang di sebut dengan gubernur
dan masing-masing dairah berhak mengelola dairahnya masing sesuai dengan amanat
Undang-undang otonomi daerah.[9]
Dalam sistim
politik pmerintahan, dinasti Fatimiyah memiliki dua opsi, yaitu politik dalam
negeri dan luar negeri. Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu
tujuan yakni berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah
Ismailiyah dan menjadikan mazhab ini sebagai mazhab yang utama di negara Mesir
dan wilayah negeri yang berada di bawahnya. Dalam hal ini khalifah al-Aziz
sangat menunjukkan sikap baik terhadap orang yahudi dan Nasrani sebagaimana
ayahnya, Ia menikahi perempuan Nasrani dan untuk itu Ia bertoleransi dalam pendirian
gereja diwilayahnya.[10]
Kemudian
dalam politik luar negeri dinasti ini memberikan nuansa kehawatiran terhadap
dinasti Abbasyiah karena penguasaan atas wilayah ini akan menaikkan derajat
Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hijaz.Penguasa atas wilayah
ini akan sangat memudahkan dalam menguasai wilayah Bagdad pada masa itu, karena
itu Khalifah Abbasyiah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti
Fatimiyah yang pada ahirnya terjadi peperangan antara Buwaihi dan Fatimiyah.
Demikian
juga dengan kemajuan pemerintahan Fatimiyah dalam bidang administrasi negara
lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan. Anggota cabang lain dalam
Islām, seperti Sunni, sepertinya diangkat kedudukannya dalam pemerintahan
sebagaimana Syi'ah. Toleransi beragama dikembangkan kepada non-Muslim seperti
orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam
pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan.[11]
Demikian
pula pada masa pemerintahan Muiz dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan
ilmu pengetahuan mengalami kemajuan besar. Al-Muiz melaksanakan tiga
kebijaksanaan besar yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan
ekonomi, toleransi beragama, dalam bidang admistrasi Ia mengangkat seorang wazir
(menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan, kemudian dalam bidang
ekonomi ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat
pemerintahan lainnya begitu juga dengan bidang agama, di Mesir.[12]
2.
Kondisi Keagamaan
Masalah agama adalah masalah penting dalam Dinasti
Fatimiyah. Negara dan agama tidak dapat dipisahkan. Bahkan dinasti ini dibangun
dan dikembangkan berdasarkan aliran keagamaan dalam Islam, yakni Syiah
Ismailiyah. Ajaran agama ini dijadikan pilar utama dalam menegakkan Negara.
Dinasti Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat ini,
meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua, seperti Yahudi,
Nasrani, orang Turki dan Sudan.[13]
Oleh karena Dinasti Fatimiyah berlangsung 262 tahun
Masehi atau 271 tahun Hijriah, dan terdiri dari empat belas orang khalifah,
maka sulit untuk mengukur, sampai dimana kepedulian dinasti ini terhadap
keberagamaan masyarakat pada rentang waktu yang cukup panjang itu. Namun pembahasan
ini dapat lihat dari:
Pertama, penyebaran ajaran
syiah. Telah diketahui bahwa dinasti ini dibangun dari pondasi Syiah dan
bermotif untuk menyebarkan ajaran Syiah. Ada beberapa kasus yang terjadi
sebagai usaha pemerintahan ini untuk mendakwahkan ajaran mereka, di antaranya:
1. Membunuh bagi orang yang tidak mengakui ajaran Syiah Ismailiyah yang
ditetapkan sebagai mazhab resmi negara. Pada tahun 391 H, Khalifah al-Hakim
pernah membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui fadhilah Ali
bin Abi Thalib.[14]
2. Larangan memuji aliran lain dan bahkan mencacinya. Diterangkan bahwa
Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut (memuji) Bani Abbasiyah dalam
setiap khutbah Jumat dan mengharamkan memakai jubah hitam serta atribut Bani
Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.[15] Pada
tahun 395 H, Khalifah al-Hakim pernah memerintahkan agar di masjid-masjid,
pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat, yang tidak
mendukung ajaran mereka seperti Abu Bakar, Umar, dll.[16]
Hal ini dilakukan
al-Hakim, kemungkinan, karena Khalifah Abbasiyah: al-Qadir pernah mengeluarkan
sebuah manifesto di Baghdad yang ditandatangani oleh beberapa tokoh Sunni dan
Syiah. Manifesto itu menyatakan bahwa saingannya yang orang Mesir, yakni
al-Hakim bukan keturunan Fatimiyah, tapi keturunan Daisan, seorang pelaku
bid’ah.[17]
3. Menawarkan jabatan dan pangkat. Ketika al-Mu’iz berhasil menguasai Mesir,
di tempat ini berkembang empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Sedangkan al-Mu’iz sendiri menganut faham Syiah. Oleh karena itu,
al-Mu’iz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan
Sunni dan hakim dari Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan
kepada ulama Syiah, dan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Dari sini,
pejabat Fatimiyah yang Sunni beralih ke Syiah, supaya jabatannya meningkat.
Pada masa yang sama,
banyak gubernur yang diangkat oleh Khalifah Abbasiyah, yang bermazhab Ahlu
Sunnah, berpindah dan mengikuti mazhab Syiah Ismailiyah. Sikap mereka ini juga
dilakukan oleh penganut agama Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam
dan menganut mazhab Ismailiyah, ketika mereka ditawarkan jabatan tertentu dalam
pemerintahan.[18]
Keberhasilan dakwah ini
meraih pengikut yang banyak, sehingga masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah
dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Syiah Ismailiyah.[19]
Kedua, sikap terhadap agama
lain. Telah dijelaskan bahwa Khalifah al-Mu’iz memberikan kesempatan kepada
agama lain untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan bahkan menaikkan
pangkat jabatan, kalau mereka rela memeluk agama Islam dan beraliran Syiah
Ismailiyah. Khalifah al-Aziz lebih jauh melangkah, beliau mengangkat wazirnya
dari kalangan Kristen, serta memiliki isteri yang beragama Kristen. Philip K.
Hitti, dalam History of The Arabs-nya menjelaskan, di masa khalifah ini
memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang tidak
pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan perilaku ini dipengaruhi oleh
wazirnya yang beragama Kristen: Isa bin Nasthur, dan istrinya yang berasal dari
Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya al-Hakim, saudara perempuan dari
dua bangsawan keluarga Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerusalem.[20]
Kondisi yang menggambarkan kerukunan antarumat
beragama ini dirusak oleh Khalifah al-Hakim. Beliau menghancurkan beberapa
gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen pada tahun 1009.[21] Lebih
lanjut, Hitti menjelaskan, al-Hakim memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk
memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi keledai; setiap orang
Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi.
Sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng.
Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II,
yang menetapkan aturan-aturan yang ketat kepada kalangan non-muslim. Jika
tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan ahl
dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh
sekretarisnya yang beragama kristen, Ibn Abdun, dan tindakan itu merupakan
salah satu sebab utama terjadinya Perang Salib.[22]
Dalam Sejarah Islam (Tarikh Pramodren), K. Ali
menjelaskan bahwa salah satu faktor runtuhnya Dinasti Fatimiyah adalah
munculnya perlawanan orang Kristen terhadap penguasa Fatimiyah. Perlawanan ini
muncul dikarenakan orang kristen tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang
dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut
berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen: masuk Islam,
atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.[23]
3.
Kondisi Intekektual
Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap
perkembangan ilmu pegetahuan dan intelektual. Hal ini terbukti ketika
pembangunan Masjid Al-Azhar dan Dar al-Hikmah, serata melahirkan banyak pakar
dalam pelbagai disiplin ilmu.
Ajid Thohir dalam Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam menyebutkan, dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti
Fatimiyah banyak menggunakan falsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pemikiran-pemikiran
Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang
paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah Ikwan al-Shofa. Dalam
falsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah Ismailiyah,
dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah
dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah terutama dalam masalah-masalah yang
berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan syariah dan filsafat Yunani.[24]
a. Masjid Al-Azhar
Hasan Asari dalam Menyingkap Zaman Keemasan Islam
menjelaskan, pada masa klasik Islam, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih
besar dan bervariasi dibading dengan fungsinya sekarang. Dulu, di samping
sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik
umat Islam. Lebih dari itu masjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa
paling awal Islam.[25] Hal
yang sama juga terjadi di Masjid al-Azhar.
Pada masa Khalifah al-Mu’iz, Mesir berhasil
ditaklukkan. Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang mengagumkan ini
adalah Jauhar ash-Shiqilli, orang Sisilia. Aslinya adalah seorang Kristen yang
lahir di daerah Bizantium, mungkin Sisilia, yang dari sana ia dibawa sebagai
seorang budak ke Kairawan. Segera atas kemenangannya terhadap kota Fusthat pada
tahun 969 M, Jauhar mulai mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah.
Kota ini, Kairo modern, menjadi pusat kota Fatimiyah sejak tahun 973 M. Setelah
mendirikan ibu kota baru, yang sekarang menjadi kota paling ramai di Afrika,
Jauhar mendirikan Masjid Agung al-Azhar, yang kemudian oleh Khalifah al-Aziz
dikembangkan menjadi universitas besar.[26]Semenjak
didirikannya, Masjid al-Azhar menjadi pusat pengkajian Islam dan pusat
perkembangan ilmu pengetahuan.[27]
b. Dar al-Hikam/Dar al-Ilmi
Dar al-Hikam atau dikenal juga Dar al-Ilmi yang
didirikan oleh al-Hakim pada tahun 1005 M sebagai pusat pembelajaran dan
penyebaran ajaran Syiah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim
menyuntikkan dana yang 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai
naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun
berdekatan dengan istana kerajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan
dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulumnya meliputi kajian ilmu-ilmu ke-Islman,
astronomi, dan kedokteran. Meskipun pada tahun 1119 ditutup oleh al-Malik
al-Afdhal karena dianggap menyebarkan ajaran bid’ah, institusi ini masih bisa
bertahan sampai kedatangan Bani Ayyubiyah.[28]
c. Aktor Intelektual
Pada masa dinasti ini, muncul sejumlah ulama dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Bahkan, secara pribadi, al-Hakim sendiri tertarik
pada perhitungan-perhitungan astrologi. Dia membangun di Muqattam sebuah
observatorium yang sering ia kunjungi, sambil berjalan-jalan sebelum fajar
menunggangi keledainya. Seorang nara sumber yang dikutip oleh sejarawan
kontemporer, Ibnu Hammad, melihat sebuah perangkat terbuat dari tembaga
menyerupai astrolobe yang didirikan oleh al-Hakim di atas dua menara untuk
mengukur tanda-tanda zodiak. Panjang astrolobe itu sekitar tiga jengkal.[29]
Di antara pakar dan aktor intelektual pada dinasti ini
adalah sebagai berikut:
1. Ya’cub bin Killis.
Beliau adalah seorang
wazir pada kekhalifahan al-Mu’iz dan al-Aziz. Ia adalah seorang Yahudi dari
Baghdad yang masuk Islam. Berkat karir pilitiknya yang meningkat dan kecakapannya
di bidang administrasi, berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi sehingga negeri
itu mencapai kemakmuran di sepanjang sungai Nil. Dan dikabarkan Ibn Killis juga
adalah tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di
Mesir.[30] Bahkan,
Ya’cub rela rumahnya dijadikan tempat belajar bagi murud-muridnya.[31]
2. Muhammad at-Tamimi.
Seorang dokter yang lahir di Yerusalam dan pindah ke
Mesir sekitar tahun 970. Beliau adalah ahli fisika dan kedokteran.[32]
3. Al-Kindi.
Muhammad bin Yusuf
al-Kindi adalah seorang sejarawan ternama yang meninggal dunia di Fusthat pada
tahun 961 M. Di antara karyanya adalah Kitab al-Wulah wa Kitab al-Qudhah.
Buku ini telah diedit oleh R. Guest dan dicetak di Leiden pada tahun 1908.[33]
4. An-Nu’man.
Beliau adalah ahli
hukum dan pernah menjabat sebagai hakim.[34]
5. Ali ibn Yunus.
Seorang astronom hebat
yang pernah dilahirkan Mesir ini meninggal pada tahun 1009, pada masa
pemerintahan al-Hakim.[35]
6. Ali al-Hasan ibn al-Haitsami (w. + 1039 M).
Ibnu Haitsam adalah
peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia dilahirkan di Bashrah sekitar tahun
965. dalam bahasa Latin, ia lebih dikenal dengan sebutan Alhazen. Dalam
pelbagai penelitiannya, ia pernah mencoba untuk mengatur aliran sungai Nil yang
mengalir setiap tahun. Ketika percobaannya gagal, ia berpura-pura gila dan
menyembunyikan diri dari kemarahan sang khalifah, sampai sang khalifah
meninggal dunia. Ia menulis tidak kurang dari seratus karya yang meliputi
bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran. Karya terbesar yang
patut dicatat adalah Kitab al-Munazhir, mengenai ilmu optik. Edisi buku
asli ini telah hilang, tetapi sudah diterjemahkan pada masa Gerald dari Cremona
atau sebelumnya, dan sudah diterbitkan dalam bahasa Latin pada tahun 1572.
kitab ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu optik pada abad
pertengahan. Hampir semua penulis tentang optik pada abad pertengahan
menjadikan karya warisan Alhazen sebagai rujukan utama; karya-karya Roger
Bacon, Leonardo da Vinci, dan Jonathan Kepler menunjukan adanya jejak-jejak
pengaruh dari kitab itu. Dalam karyanya Ibnu al-Haitsam menentang teori Euclid
dan Ptolemius yang mengatakan bahwa mata mengirimkan cahaya visual pada objek
yang dilihat. Ia juga melakukan percobaan untuk menguji sudut pantulan cahaya.
Dalam beberapa percobaan tertentu ia mendekati penemuan teoritis tentang lensa
pemesar yang menjadi prototipe lensa yang dibuat tiga abad kemudian di Italia.[36]
7. Ammar ibn Ali al-Maushili. Karyanya adalah al-Muntakhab fi ‘Ilaj al-Ayn,
muncul di Mesir pada masa kekuasaan al-Hakim. Dalam hal ini para sejarawan
menyatakan bahwa karya ini jauh lebih orisinal ketimbang Tadzkirah karya
Ibnu Isa, ilmuan lain yang sezaman dengannya. Berkat kelengkapannya, kitab ini
menjadi standar dalam disiplin penyakit mata, optalmologi. Ammar menjelaskan
dasar-dasar operasi katarak yang belum parah dengan mengisapnya melalui lobang
pembuluh. Praktek operasi ini merupakan salah satu penemuannya.[37]
8. Abu Abdillah An-Nasafi. Ia telah menulis kitab al-Maushul. Kitab ini
lebih banyak membahas masalah usul mazhab-mazhab Islam. Selahjutnya ia menulis
kitab Unwanuddin, Ushulusyar’i, Adda’watu Munjiyah. Kemudian ia juga
menulis buku tentang ilmu falak dan sifat alam dengan judul Kaunul alam dan
al-Kaunul Mujraf.[38]
Pada masa al-Muntashir, kegagalan dan kemunduran
kerajaan yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan, pada gilirannya
menyebabkan kemunduran lebih besar dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari
perpustakaan kerajaan. Perpustakaan itu sendiri mulai didirikan pada masa
al-Aziz, dan ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksemplar
al-Quran yang dihiasi ornamen-ornamen indah. Salah satu koleksi langkah
perpustakaan ini adalah naskah-naskah hasil karya Ibnu Muqlah dan ahli-ahli
kaligrafi lainnya. Di perpustakaan ini pula al-Aziz menyimpan salinan tulis
tangan buku sejarah karya at-Tabari. Dalam peristiwa perebutan rampasan perang
pada tahun 1068, seorang sejarawan menyaksikan sekitar 25 ekor unta membawa
pergi buku-buku itu. Naskah-naskah yang berharga itu digunakan sebagai bahan
bakar untuk membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki, sedangkan
bagian sampulnya yang tebal dan mewah dijadikan untuk tambalan sepatu
budak-budak mereka.[39]
C.
MASA KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KHILAFAH FATIMIAH
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim.
Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah
dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia
membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen,
termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen.
Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang
beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya Perang Salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah
hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang
Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak
disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas.
Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz
dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap
oposan dari penduduk dan menyeret Daulah Fatimiyah dalam konflik
dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan
perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.[40]
Al-Hâkim kemudian memilih mengikuti
perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai
penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan berkelana hingga akhirnya terbunuh
di Mukatam pada 13 Pebruari 1021. Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan
yang dipimpin adik perempuannya, Sitt al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak
hormat olehnya. [41]
Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika
diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa
az-Zâhir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini
menjadi pemicu timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam
pemerintahan Fatimiyah. Az-Zâhir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar
namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar.
Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel.
Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali
gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini
dihancurkan oleh al-Hâkim.[42]
Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang
baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini sistem
pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah
hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan
adalah para mentri. Oleh
karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh
mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zâhir lebih mendekati
keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar.
Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki
dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam
Dinasti Fatimiyah.
Pada masa al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah
mulai terkoyak dengan cepat. Sementara di Palestina sering terjadi
pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani
Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan
propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat
kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti
Abasiyyah. Pada tahun 1052, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani
Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke
bagian barat dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Sementara itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang
mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah
kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya
kawasan Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.[43]
Az-Zâhir kemudian digantikan oleh al-Mustanshir. Di masa ini terjadi
kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang
Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan
yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara. Di
tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamalî, orang
Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya wewenang untuk
bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî (komandan
Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya
untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan
Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus
al-Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan
munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh
kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi
perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua
kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan
al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh.
Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi
khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal
mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya.
Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li
wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai
khalifah. [44]
Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal
kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan
penggantinya, az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat
muda hingga. Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir
melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa
Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di
bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil
membendung invasi tentara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir
direbut oleh wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh,
dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius. Kemudian naiklah al-Faiz, anak
az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini
meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru
berumur sembilan tahun. Maka pada tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk
kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi juga
untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka
sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu, Syawar,
telah melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil
mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.[45]
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia
mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini
menyebabkan menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya
Salahuddin al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa
pemerintahannya Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya
Salahuddin menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimy.
Namun ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi
mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan
menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan
berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti
Ayubiyyah.[46]
[1]Muhammad Arifin
Jahari, Dinasti Fatimiyah: Dinamika Keagamaan, Sosial-Politik
dan Intelektual , http://ayah-adzka.blogspot.com/2012/04/dinasti-fatimiyah-dinamika-keagamaan.html di akses
tanggal 9 Nopember 2012
[2]M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publusher, 2007), hal. 78
[3]Ibid.,
[4]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004) hal. 81
[5]Muhammad Arifin
Jahari, Dinasti Fatimiyah: Dinamika Keagamaan, Sosial-Politik
dan Intelektual , http://ayah-adzka.blogspot.com/2012/04/dinasti-fatimiyah-dinamika-keagamaan.htmldi akses
tanggal 9 Nopember 2012
[6]Muhammad Jamaluddin
Surur, at-Daulah al-Fatimiyah fi Mashr (Kairo: Dar- al-Fikr al-Arabi,
1979) hal. 132
[7]Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. Jahdan Ibnu
humam. (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), hal. 45
[9]Ibid.,
[10]Ibid., hal 62
[11]Ibid.,
[12]Ibid.,
[13]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia... hal 97
[14]Departemen Pendidikan
Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),
hal. 154
[15]Ibid.,
[16]Muhammad Arifin
Jahari, Dinasti Fatimiyah: Dinamika Keagamaan, Sosial-Politik
dan Intelektual , http://ayah-adzka.blogspot.com/2012/04/dinasti-fatimiyah-dinamika-keagamaan.html di akses
tanggal 9 Nopember 2012
[18]Departemen Pendidikan
Nasional, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),
hal. 157
[19]Ibid.,
[20]Philip K. Hitti, History
of The Arabs, penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dkk. (Jakarta:
Serambi, 2005) hal 178
[21]Ibid.,
[22]Ibid.,
[23]K. Ali, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodren) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal 97
[24]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2004) hal. 78
[26]Ibid.,
[27]Muhammad Arifin
Jahari, Dinasti Fatimiyah: Dinamika Keagamaan, Sosial-Politik
dan Intelektual , http://ayah-adzka.blogspot.com/2012/04/dinasti-fatimiyah-dinamika-keagamaan.html di akses
tanggal 9 Nopember 2012
[28]Hasan Asari,
Menyingkap Zaman Keemasan Islam.... hal. 62
[29]K. Ali, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodren) (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal 86
[30]Muhammad Arifin
Jahari, Dinasti Fatimiyah: Dinamika Keagamaan, Sosial-Politik
dan Intelektual , http://ayah-adzka.blogspot.com/2012/04/dinasti-fatimiyah-dinamika-keagamaan.html di akses
tanggal 9 Nopember 2012
[31]Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Islamika, 2008), hal. 79
[32]Ibid., hal. 80
[33]Ibid.,
[34]Ibid.,
[35]Ibid., hal. 82
[36]Ibid., hal
82-83
[37]Ibid., hal 84
[38]Ibid., hal 85
[39]Muhammad Arifin
Jahari, Dinasti Fatimiyah: Dinamika Keagamaan, Sosial-Politik
dan Intelektual , http://ayah-adzka.blogspot.com/2012/04/dinasti-fatimiyah-dinamika-keagamaan.html di akses
tanggal 9 Nopember 2012
[40]M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Pradadaban Islam, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publusher, 2007), hal. 91
[41]Ibid., hal 92
[42]Ibid.,
[43]Ibid.,
[44]Ajiraksa,
Dinasti Fatimiyah, http://ajiraksa.blogspot.com/2012/06/kekhalifahan-dinasti-fatimiyah.html di
akses tanggal 9 Nopember 2012
[45]Ibid.,
[46]Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar