Rabu, 20 Februari 2013

Menikmati Pagi Di Puncak

Puncak Argowilis, di antara rimbun pepohonan dan terik kehangatan surya dan tersapu lembut angin gunung nan syahdu. Adeeeeemmm euy..

HADITS TENTANG RAHN


A.    Hadist Tentang Rahn
ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا لَهُ مِنْ حَدِيدٍ.[1]
Terjemahannya:
Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”

B.      Asbabul Wurud Hadits
Perdagangan pada masa jahiliyah atau pada masa Rasulullah SAW yaitu:
untuk tujuan tolong menolong di dalam masyarakat untuk melangsungkan kehidupan maka seseorang boleh berhutang kepada orang lain dan memberikan jaminan barang yang mempunyai nilai lebih dari nilai hutangnya. Oleh karena itu Rasulullah berhutang kepada seorang Yahudi dan menggadaikan baju besinya.
Perdagangan pada masa jahiliyah atau pada masa Rasulullah SAW yaitu:
Seorang murtahin (penerima gadai) tidak diperbolehkan mengambil alih hak kepemilikan barang yang digadaikan kepadanya, yaitu dengan memberikan syarat kepada yang menggadaikannya jika ia tidak mampu mengembalikan pinjamannya dalam waktu tertentu maka barang yang digadaikan akan menjadi hak miliknya sepenuhnya (tanpa mengurangi sedikitpun harta pinjamannya). Hal ini termasuk salah satu yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah, lalu setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka beliau pun melarang perbuatan itu.

C.    Tahrij Hadits dan Syarah Hadits
Kritik Sanad Hadis.
Dilihat dari ranji sanad hadistnya, hadis ini memiliki jalur sanad: ‘Aisah binti Abu Bakar, Al-Aswad bin Yaziid bin Qais an-Khoiyyu, Ibrohim bin Yaziid bin Qois, Sulaiman bin al-A’mas, ‘Abdul Wahid bin Ziyaad al-‘Abdiyyu, Musaddad bin Musarhad. Mengenai biografi masing-masing perawi, analisis kebersambungan sanad, kualitas pribadi dan kapasitas intelektual perawi dapat dilihat pada keterangan perawi berikut ini mengentai nama perawi, tahun lahir, tahun wafat, umur, guru, murid, dan Jarh wa Ta’dil Muslim
1.    Musaddad bin Musarhad.[2]
TL: -
TW: 228 H
U: -
Guru: Ada 48 orang. Diantaranya: ‘Abdul Wahid bin Ziyaad, ‘Abdul Warist bin Sa’id, ‘Abdul Wahab at-Taqowiyyu, ‘Umar bin ‘Ubaid at-Thonafisiyyu.
Murid: Ada 20 orang. Diantaranya: Al-Bukhari, Abu Dawud, Ibrohim bin Ya’qub al-Juzjaniyyu.
Abu Zur’ah: berkata Ahmad bin Hanbal: Musaddad Shodduq.
Muhammad bin Harun al-Falas: Shodduq.
Ja’far bin Abi Utsman at-Thoyalisiyyu: Tsiqoh.
‘Abdurrrahman bin Abi Hatim : Tsiqoh.

2.   ‘Abdul Wahid bin Ziyaad al-‘Abdiyyu.[3]
TL: -
TW: 176/177/179
U : -
Guru: Ada 46 orang. Diantaranya: Sulaiman al-A’mas, Sulaiman Abi Ishaq asy-Syaibaniyyu, Sholih bin Sholih bin Hayyu.
Murid: Ada 41 orang. Diantaranya: Musaddad bin Musarhad, Muslim bin Ibrohim, Mu’aliy bin Asad al-‘Amiyyu.
‘Utsman bin Sa’id ad-Darimiyyu: Tsiqoh.
Muhammad bin Sa’d: Tsiqoh.
Abu Zur’ah dan Abu Hatim: Tsiqoh.

3.      Sulaiman bin al-A’mas.[4]
TL : 60 H.
TW: Rabi’ul Awal 148 H
U: 88 tahun.
Guru: Ada 14 orang. Diantaranya: Ibrohim bin Yaziid bin Qois bin al-Aswad, Ibnu Sholih al-Saman, Salim bin Ibnu al-Ja’d.
Murid: Ada 19 orang. Diantaranya: ‘Abdul Wahid bin Ziyaad al-‘Abdiyyu, Abu Ishaq as-Sabi’iyyu, al-Hakm.
‘Abdul Mu’in : Mursal.
An-Nasa’i dan yang lain : Tsiqoh.

4.      Ibrohim bin Yaziid bin Qois bin al-Aswad bin ‘Umar bin Rabi’ah bin Dzahl bin Robi’ah bin Dzahl bin Sa’d bin Malik bin an-Nakh’ an-Nakh’iyyu.[5]
TL : -
TW: 96/46/58.
U: -
Guru:Ada 26 orang. Diantaranya: al-Aswad bin Yaziid, Khoitsamah bin Abdurrohman, ar-Robi’ bin Khotsim, Aswad al-Muharibbi.
Murid: Ada 36 orang. Diantaranya: Sulaiman al-A’mas, Ibrohim bin Muhajir al-Bajaliyyu, al-Harits bin Yaziid al-‘Ukliyyu.
 ‘Abbas ad-Duriyyu dari Yahya bin Ma’in : Murosil.
Abu Usamah dari al-A’mas : Shorif (Baik).
Dari Jabir bin Abdul Hamid dari Ismail bin Abi Kholid: bahwa Ibrohim sering berkumpul di masjid (musyawarah) dan membahas masalah hadis.

5.      Al-Aswad bin Yaziid bin Qais an-Nakhoiyyu.[6]
TL : -
TW : 74/75/76.
U : -
Guru ada 17 orang. Diantaranya: ‘Aisah, Bilal bin Rabbah, Salman al-Farissi, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Ali bin Abi Tholib, ‘Umar bin Khotob, Mu’adz bin Jabal, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ummu Salamah.
Murid: Ada 15 orang. Diantaranya: Ibrohim bin Yaziid, Ibrohim bin Suwaidi an-Nakhoiyyu, Abu Ishaq at-Tabi’iyyu.
Dari Ahmad : Tsiqoh.
Dari Yahya: Tsiqoh.
Muhammad Su’d: Tsiqoh.

6.      ‘Aisah binti Abu Bakar ash-Shiddiq.[7]
TL: -
TW: 57 H/Syawal 58 H/Romadhon 58 H.
U: -
Guru ada 7 orang gurunya. Diantaranya: Nabi SAW, Umar bin Khotob, Ayahnya: Abu Bakar ash-Shiddiq, Fatimah az-Zahro binti Rasulullah SAW.
Murid: ada 230 orang. Diantaranya: Al-Aswad bin Yaziid an-Nakhoiyyu, Ishaq bin Tholhah ‘Ubaidillah, Ishaq bin ‘Umar, Jubiir Nufair Hadromiyyu.

Biografi dan Kebersambungan Sanad.
1.        Musaddad.
Nama lengkap beliau adalah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal al-Asdiyyu, atau beliau biasa disebut gelarnya dengan Abul Hasan Basriyyu. Disebutkan beliau wafat pada 228 H, mengenai tahun lahir dan usia beliau tidak disebutkan dalam kitab rujukan peneliti yaitu Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal Juz 27 halaman 443.[8] Beliau memiliki 48 orang guru, yang disebutkan diantaranya adalah ‘Abdul Wahid bin Ziyaad, ‘Abdul Warist bin Sa’id, ‘Abdul Wahab at-Taqowiyyu, dan ‘Umar bin ‘Ubaid at-Thonafisiyyu. Kemudian beliau juga memiliki 20 orang murid, diantaranya disebutkan adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, Ibrohim bin Ya’qub al-Juzjaniyyu. Kebersambungan sanad antara beliau dengan gurunya yaitu Abdul Wahid terbukti melalui data yang diperoleh pada kitab rujukan peneliti. Sedangkan secara historis, peneliti masih mengalami kesulitan dalam menentukan kedetakan dan kebersambungan sanad anatar guru dan murid ini.
Komentar para ulama mengenai beliau adalah, Abu Zur’ah: berkata Ahmad bin Hanbal: Musaddad Shodduq. Muhammad bin Harun al-Falas: Shodduq. Ja’far bin Abi Utsman at-Thoyalisiyyu: Tsiqoh. ‘Abdurrrahman bin Abi Hatim : Tsiqoh.
2.      Abdul Wahid.
Nama lengkapnya adalah Abdul Wahid bin Ziyaad al-Abdiyyu. Dalam kitab rujukan peneliti yaitu Tahdzib al- Kamal fi Asma ar-Rijal juz 18 halaman 450 disebutkan beberapa pendapat ulama menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 176 atau 177 atau 179 H, dan tidak ada keterangan mengenai tahun lahir dan usia beliau. Beliau memiliki 49 orang guru, diantaranya disebutkan adalah Sulaiman al-A’mas, Sulaiman Abi Ishaq asy-Syaibaniyyu, Sholih bin Sholih bin Hayyu. Dan memiliki 41 orang murid, yang disebutkan antara lain adalah Musaddad bin Musarhad, Muslim bin Ibrohim, Mu’aliy bin Asad al-‘Amiyyu. Kebersambungan sanad antara beliau dengan gurunya yaitu Sulaiman al-A’mas dapat dibuktikan pada kitab rujukan yang memuat tentang data-data guru beliau dan data yang terdapat dalam kitab rujukan yang memuat tentang data-data Abdul Wahid sendiri. Sedangkan kebersambungan sanad antara beliau dengan murid beliau yaitu Musaddad, juga bisa dilihat pada data-data beliau diatas dan data pada murid beliau.
Secara historis, peneliti juga masih mengalami kesulitan dalam membuktikan kebersambungan sanad antara beliau dengan guru dan muridnya. Namun, dari data pada tahun lahir, wafat dan usia pada guru beliau yaitu Sulaiman al-A’mas pada 148 H, terdapat kedekatan tahun wafat pada Abdul Wahid pada 176 H. Sedangkan kebersambungan sanad beliau pada muridnya, yaitu Musaddad dapat dilihat pada penjelasannya.
Komentar para ulama mengenai beliau adalah, ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimiyyu: Tsiqoh. Muhammad bin Sa’d: Tsiqoh. Abu Zur’ah dan Abu Hatim: Tsiqoh.
3.      Sulaiman al-A’mas.
Nama lengkapnya Sulaiman bin al-A’mas atau biasa disebut gelarnya yaitu Abu Muhammad al-Asdiyyu. Peneliti tidak dapat menemukan data beliau pada kitab Tahdzib al- Kamal fi Asma ar-rijal, karena itu peneliti mencoba mencari pada kitab rujukan yang lain, yaitu pada kitab Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani juz 4 halaman 171 dan data yang diperoleh pada kitab rujukan tersebut adalah beliau wafat pada bulan Rabiu’ul Awal tahun 148 H, beliau wafat pada usia 88 tahun, sehingga dapat diperkirakan tahun lahir beliau yaitu pada tahun 60 H.
Beliau memiliki 14 orang guru, yang diantaranya terdapat nama Ibrohim bin Yaziid bin Qois bin al-Aswad, Ibnu Sholih al-Saman, dan Salim bin Ibnu al-Ja’d. Kemudian beliau memiliki 19 orang murid, diantaranya disebutkan adalah ‘Abdul Wahid bin Ziyaad al-‘Abdiyyu, Abu Ishaq as-Sabi’iyyu, dan al-Hakm. Kebersambungan sanad antara beliau dengan gurunya yaitu Ibrohim bin Yaziid dapat dibuktikan melalui data dalam kitab-kitab rujukan tersebut, dan secara historis bisa dibuktikan dengan data pada tahun lahir, wafat dan usia pada Sulaiman bin al-A’mas. Pada kitab rujukan disebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 148 H dengan usia sekitar 88 tahun dan dapat diperkirakan beliau lahir pada tahun 60 H, ini memiliki kedekatan historis dengan tahun wafat Ibrohim bin Yaziid pada pendapat yang mengatakan bahwa beliau wafat sekitar tahun 96 H, yaitu tahun wafat beliau yang tidak berbeda jauh dengan tahun wafat gurunya. Kemudian, kebersambungan sanad antara beliau dengan muridnya, yaitu Abdul Wahid bin Ziyaad al-Abdiyyu juga dapat dibuktikan pada data dari kitab Tahdzib al-Kamal.
Komentar para ulama mengenai beliau adalah, ‘Abdul Mu’in : Mursal. Namun pendapat ini tidak dapat digunakan karena An-Nasa’i dan yang lainnya mengatakan : Tsiqoh.
4.      Ibrohim bin Yaziid.
Nama lengkapnya Ibrohim bin Yaziid bin Qois bin al-Aswad bin ‘Umar bin Rabi’ah bin Dzahl bin Robi’ah bin Dzahl bin Sa’d bin Malik bin an-Nakh’ an-Nakh’iyyu. Dari data yang diperoleh melalui kitab rujukan yaitu Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 2 halaman 234 mengenai tahun wafat beliau ada yang mengatakan bahwa beliau wafa pada tahun 96 atau 46 atau 59 H, dan mengenai tahun lahir dan usia beliau tidak disebutkan di dalam kitab tersebut.
Ibrohim bin Yaziid memiliki 26 orang guru, yaitu di antaranya terdapat nama al-Aswad bin Yaziid, Khoitsamah bin Abdurrohman, ar-Robi’ bin Khotsim, Aswad al-Muharibbi. Kemudian beliau juga mempunyai 36 orang murid, yang diantaranya adalah Sulaiman al-A’mas, Ibrohim bin Muhajir al-Bajaliyyu, al-Harits bin Yaziid al-‘Ukliyyu.
Kepastian kebersambungan sanad antara Ibrohim dengan gurunya yaitu al-Aswad dapat dibuktikan melalui data-data yang diperoleh melalui kitab rujukan dan keterangan yang telah dijelaskan sebelumnya diatas. Sementara kebersambungan sanad antara Ibrohim bin Yaziid dengan muridnya, yaitu Sulaiman al-A’mas juga dapat dibuktikan melalui data dalam kitab rujukan tersebut. Dan secara historis hampir dapat dibuktikan adanya hubungan antara keduanya melalui data pada muridnya yaitu Sulaiman al-A’mas.
Komentar para ulama mengenai beliau adalah, ‘Abbas ad-Duriyyu dari Yahya bin Ma’in : Murosil. Namun pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa, Abu Usamah dari al-A’mas : Shorif (Baik). Dari Jabir bin Abdul Hamid dari Ismail bin Abi Kholid: bahwa Ibrohim sering berkumpul di masjid (musyawarah) dan membahas masalah hadis.
5.      Al-Aswad bin Yaziid bin Qais an-Nakhoiyyu.
Nama lengkapnya adalah Al-Aswad bin Yaziid bin Qais an-Nakhoiyyu atau biasa disebut gelarnya dengan Abu Amru. Dari data yang diperoleh dalam kitab rujukan ada yang mengatakan bahwa al-Aswad bin Yaziid bin Qais an-Nakhoiyyu wafat pada tahun 74 atau 75 atau 76 H, sedangkan mengenai tahun lahir dan usianya tidak tercantum dalam kitab tersebut.
Disebutkan dalam kitab Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 3 halaman 242 ada 17 orang guru yang meriwayatkan hadisnya kepada beliau, diantaranya ‘Aisah bin Abu Bakar, Bilal bin Rabbah, Salman al-Farissi, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Ali bin Abi Tholib, ‘Umar bin Khotob, Mu’adz bin Jabal, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ummu Salamah. Dan ada sekitar 15 orang muridnya yaitu diantaranya Ibrohim bin Yaziid, Ibrohim bin Suwaidi an-Nakhoiyyu, dan Abu Ishaq at-Tabi’iyyu.
Kepastian akan adanya kebersambungan sanad antara al-Aswad dengan gurunya yaitu ‘Aisah seperti yang telah dijelaskan diatas, dan kebersambungan sanad antara al-Aswad dengan muridnya yaitu Ibrohim bin Yaziid dapat dibuktikan dari data yang diambil dari kitab rujukan diatas. Sedangkan peneliti juga kesulitan membuktikan kebersambungan sanad secara historis karena diantaranya keduanya tidak disebutkan mengenai tahun lahir dan terdapat beberapa perbedaan data mengenai tahun wafat al-Aswad dan Ibrohim bin Yaziid.
Komentar para ulama mengenai beliau adalah, Dari Ahmad : Tsiqoh. Dari Yahya: Tsiqoh. Muhammad Su’d: Tsiqoh.
6.      ‘Aisah binti Abu Bakar ash-Shiddiq.
Nama lengkapnya ‘Aisah binti Abu Bakar ash-Shiddiq Ummul Mukminin. Sedangkan ibunya bernama Ummu Ruman binti Amir bin Kuwaimir bin Abdul Syam bin ‘Atof bin Udzainah bin Suba’ bin Duhman bin Harits bin Ghonm bin Malik bin Kinanah. Menurut Sufyan bin Huyainah dari Hasim bin Aurah. Disebutkan dalam kitab Tahdzil al-Kamal fi Asma ar-Rijal jilid 35 halaman 227, Aisah wafat pada tahun 57 H atau Syawal 58 H atau Romadhon 58 H, namun tidak disebutkan kapan tahun kelahiran beliau sehingga peneliti tidak dapat memperkirakan tentang usia beliau.
Dari ‘Aisah sendiri terdapat 7 orang guru yang meriwayatkan hadist kepada beliau, diantaranya Nabi SAW, Umar bin Khotob, Ayahnya: Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Fatimah az-Zahro binti Rasulullah SAW. Sementara ada sekitar 230 orang yang berguru kepada beliau diantaranya terdapat Al-Aswad bin Yaziid an-Nakhoiyyu, Ishaq bin Tholhah ‘Ubaidillah, Ishaq bin ‘Umar, dan Jubiir Nufair Hadromiyyu. Kepastian akan adanya kebersambungan sanad antara ‘Aisah dengan Rasulullah SAW adalah dibuktikan bahwa Rasulullah adalah suami sekaligus sebagai guru beliau juga. Begitu juga dengan kebersanbungan sanad antara ‘Aisah dengan al-Aswad terdapat adanya hubungan sebagai guru dan murid, seperti yang terdapat dalam kitab Tahdzil al-Kamal fi Asma ar-Rijal jilid 35.
Namun, secara historis peneliti mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya hubungan gur-murid antara ‘Aisah dan al-Aswad, disebabkan kurangnya informasi mengenai tanggal dan tahun lahir ‘Aisah binti Abu Bakar dan al-Aswad bin Yaziid. Sehingga peneliti hanya mampu membuktikannya melalui data yang telah diperoleh dalam kitab rujukan. Namun, jika dilihat dari tahun wafat ‘Aisah dengan tahun wafat muridnya, yaitu al-Aswad.
Tak ada keterangan mengenai komentar para ulama mengenai beliau. Namun, tentang keadilan dan kedholbitan-nya dapat dibuktikan dari faktor historis beliau sebagai murid dan istri langsung dari Nabi Saw dab Ummul Mukminin.
Natijah Sanad:
Mengenai sanad dalam hadis ini, sudah dapat dikatakan memiliki syarat hadis yang shahih. Yaitu, semua sanadnya bersambung dan antara guru dan muridnya saling bertemu. Karena itulah peneliti dapat menyimpulkan terhadap sanad hadis ini bahwa sanad hadis ini muttasil atau bersambung.

PENELITIAN MATAN.
Membandingkan Hadis lain dengan ayat al-Qur’an yang Sesuai.
1.      Perbandingan (kehujjahan) dengan Al-Qur’an.

ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد˛ﻋﻦﻋﺎﺋﺸﻪرﺿﻲﷲﻋﻨﻬﺎ:ٲن
اﻟﻨﺒﻲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢاﺷﺘﺮیﻣﻦﻳﻬﻮديﻃﻌﺎﻣﺎٳﻟﻰٲﺟﻞ˛ﻮرﻫﻨﻪدرﻋﻪ
Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa di dalam Islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non-muslim dalam bidang muamalah, maka seorang nuslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada non-muslim . Maka hal ini dapat dikatakan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, malah sebaliknya ayat-ayat al-Qur’an yang ada bernada sama dan mendukung konteks hadis yang menjadi pokok bahasan, sehingga keduanya saling berhubungan. Hal ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’alah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain , maka hendaklah yang dipercayai itumenunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikan, maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 283)
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan bahwa kita hanya boleh berpiutang atau memberikan barang tanggungan hanya kepada sesama muslim saja. Hal ini didukung pula dengan konteks kalimat:
( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr&
 “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya.)”
Kata ﻓﺈن adalah klausa, yang diikat dengan nasehat bagi orang-orang yang berutang untuk melunasi utang mereka, dan menjauhi penundaan pembayaran atau mengulur-mengulur waktu dalam membayar. Yakni apabila orang yang berutang telah dipercayai oleh yang memberikan utang, maka sudah sepantasnya ia menjaga kepercayaan itu dengan melunasi utangnya . Dengan membayar hutang yang dipercayakan kepadanya itu, karena tidak bisa ditulis atau dicatat, pemberi hutang tidak mengambil gadai sebagai jaminan hutangnya .
Kata ﻓﻠﻴٶد ini adalah bentuk perintah, yang menunjukkan bahwa orang yang berutang diwajibkan untuk melunasi utangnya itu. Petunjuk atau tanda bahwa perintah itu diwajibkan adalah ijma’ ulama tentang kewajiban melunasi utang, dan perintah kepada para hakim untuk memaksa para pengutang agar melunasi utangnya jika keadaan keuangannya telah memungkinkan, dan juga petunjuk yang berasal dari hadis-hadis shahih mengenai pengharaman memakan harta otang lain .
Asbabun nuzul ayat ini sesuai dengan asbabul wurud pada hadis yang menjadi pokok bahasan diatas. Perdagangan pada masa jahiliyah atau pada masa Rasulullah SAW yaitu: Seorang murtahin (penerima gadai) tidak diperbolehkan mengambil alih hak kepemilikan barang yang digadaikan kepadanya, yaitu dengan memberikan syarat kepada yang menggadaikannya jika ia tidak mampu mengembalikan pinjamannya dalam waktu tertentu maka barang yang digadaikan akan menjadi hak miliknya sepenuhnya (tanpa mengurangi sedikitpun harta pinjamannya). Hal ini termasuk salah satu yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah, lalu setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka beliau pun melarang perbuatan itu .
2.      Perbandingan dengan Hadis lain yang Shahih & Semakna.
ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد˛ﻋﻦﻋﺎﺋﺸﻪرﺿﻲﷲﻋﻨﻬﺎ:ٲن
اﻟﻨﺒﻲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢاﺷﺘﺮیﻣﻦﻳﻬﻮديﻃﻌﺎﻣﺎٳﻟﻰٲﺟﻞ˛ﻮرﻫﻨﻪدرﻋﻪ

Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.” Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori diatas ternyata juga semakna dengan beberapa hadis lain yang bernilai shahih yang diriwayatkan oleh beberapa Imam lain, seperti Imam Syafi’i dan Sunan Ibnu Majah:

أﺧﺒﺮﻧﺎﻋﺒﺪاﻟﻌﺰﻳﺰﺑﻦﻣﺤﻤﺪاﻟﺪراﻮرديﻋﻦﺟﻌﻔﺮﺑﻦﻣﺤﻤﺪﻋﻦأﺑﻴﻪﻗﺎلرﻫﻦرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢدرﻋﻪﻋﻨﺪأﺑﻲاﻟﺸﺤﻢاﻟﻴﻬﻮدي
“Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada Abu Asy-Syahm, seorang Yahudi.” (Musnad Imam Syafi’i).
Hadis diatas memperjelas dan menguatkan makna hadis Shahih Muslim, bahwa perbuatan menggadaikan barang atau sesuatu terhadap non-muslim (dalam konteks hadis yaitu Yahudi) adalah diperbolehkan dan tidak ada larangan, karena Nabi SAW sendiri telah melakukannya. Kemudian, pada hadis yang kedua, dijelaskan pula:
ﻋﻦأﻧﺲﻗﺎلﻟﻘﺪرﻫﻦرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢدرﻋﻪﻋﻨﺪﻳﻬﻮديﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﻪﻓﺄﺟﺬﻟﺄﻫﻠﻪﻣﻨﻪﺷﻌﻴﺮا
“Dari Anas bin Malik RA ia berkata, “ Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan darinya beliau telah mengambil gandum untuk keluarganya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah. Ket: (Hadis) Shahih).
Dari hadis di atas, selain menunjukkan dan menguatkan hadis Shahih Muslim tentang pergadaian yang terjadi antara muslim dan non-muslim, juga menjelaskan bahwa peristiwa perbuatan Nabi SAW yang menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut terjadi di Madinah untuk mengambil gandum bagi keluarganya. Ini merupakan penguatan terhadap hadis Shahih Muslim bahwa, tidak ada larangan dalam bermuamalah atau melakukan gadai terhadap non-muslim karena Nabi SAW sendiri telah melakukannya. Dibuktikan dengan adanya tiga buah hadis yang semakna dan menjelaskan tentang perbuatan Rasulullah SAW ketika menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi.
3.      Perbandingan dengan Fakta Sejarah.
Perbandingan dengan fakta sejarah ini berhubungan dengan asbabul wurud pada hadis terkait. Sebab, hadis ini muncul sehubungan dengan adanya peristiwa yang berkaitan dengan perilaku atau perkataan yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan dalam bagian perbandingan hadis dengan al-Qur’an bahwa:
Seorang murtahin (penerima gadai) tidak diperbolehkan mengambil alih hak kepemilikan barang yang digadaikan kepadanya, yaitu dengan memberikan syarat kepada yang menggadaikannya jika ia tidak mampu mengembalikan pinjamannya dalam waktu tertentu maka barang yang digadaikan akan menjadi hak miliknya sepenuhnya (tanpa mengurangi sedikitpun harta pinjamannya). Hal ini termasuk salah satu yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah, lalu setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka beliau pun melarang perbuatan itu.
4.      Perbandingan dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Rasio.
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan dalam hal ilmu-ilmu sains dan teknologi juga mempengaruhi perkembangan pengaplikasian ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dalam segalah hal perilaku kehidupan manusia. Dalam hal ini khususnya dalam bidang muamalah atau bertransaksi antar manusia dengan manusia. Disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang sedang pesat berkembang sekarang ini, penerapan makna hadis tentang rahn yang menjadi inti pembahasan kali ini adalah rahn atau gadai dalam perbankan dan lembaga keuangan Islam lainnya.
Fiqh Islam mengenai perjanjian gadai yang disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang. Gadai (rahn) dapat diartikan pula sebagai perjanjian suatu barang sebagai tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Orang yang menyerahkan barang gadai tersebut rahin, orang yang menerima gadai disebut murtahin. Dan barang yang digadaikan disebut marhun. Selain itu terdapat pula shigat akad.
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.       Milik nasabah sendiri.
b.      Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
c.       Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Jika hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.
Secara rasio, atau akal, penerapan hadis ini tidak bertentangan dengan aplikasi pada prinsip ilmu pengetahuannya, sedangkan hadis ini sendiri sudah dibuktikan dijadikan sebagai landasan hukum (syariah) pada pengaplikasian rahn.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih sayang diantara manusia, karena ini termasuk tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.
Natijah Matan:
Hadis tentang rahn yang diriwayatkan oleh Muslim ini setelah dibandingkan dengan beberapa hal diatas (al-Qur’an, Hadis lain yang shahih, fakta sejarah, dan ilmu pengetauan/rasio) tidak ditemukan adanya pertentangan mengenai isinya, dan dinilai masuk akal dalam pengaplikasiannya pada kehidupan masyarakat luas khususnya umat muslim.
PEMAHAMAN HADIST.
1.      Kitab Syarah Hadis.
ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد˛ﻋﻦﻋﺎﺋﺸﻪرﺿﻲﷲﻋﻨﻬﺎ:ٲن
اﻟﻨﺒﻲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢاﺷﺘﺮیﻣﻦﻳﻬﻮديﻃﻌﺎﻣﺎٳﻟﻰٲﺟﻞ˛ﻮرﻫﻨﻪدرﻋﻪ
Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”
Keterangan-Hadis,
ﻃﻌﺎﻣﺎٳﻟﻰٲﺟﻞ (makanan hingga waktu yang ditentukan). Pada bab yang telah lalu telah dijelaskan jenis makanan yang dimaksud, yaitu makanan pokok pada saat itu adalah sya’ir (gandum). Hal ini dikatakan oleh ad-Dawudi . Adapun batas waktunya telah dijelaskan dalam Shahih Ibnu Hibban dari jalur Abdul Wahid bin Ziyad, dari al-A’masyi, yaitu satu tahun. ﻮرﻫﻨﻪدرﻋﻪ (dan beliau menggadaikan baju besinya). Pada bagian awal pembahasan tentang jual beli disebutkan dari jalur Abdul Wahid, dan dari al-A’masyi, dengan lafazh: ﻮرﻫﻨﻪدرﻋﺎﻣﻦﺣﺪﻳﺪ (dan beliau menggadaikan baju besinya).
Hadist ini dijadikan dalil tentang bolehnya menjual senjata kepada orang kafir, sebagaimana akan dijelaskan pada bab berikutnya. Pada bagian akhir pembahasan tentang peperangan dari jalur Ats-Tsauri, dari al-A’masy, disebutkan dengan lafazh,
ﺗﻮﻓﻲرﺳﻮلﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢﻮدرﻋﻪﻣﺮﻫﻮﻧﻪ (Rasulullah SAW wafat sedangkan baju besinya tergadaikan).
Dalam hadist Anas yang dinukil Imam Ahmad disebutkan, ﻓﻤﺎﻮﺟﺪﻣﺎﻳﻔﺘﻜﻬﺎﺑﻪ (Beliau tidak mendapatkan apa yang dapat digunakan untuk menebusnya).
Di sini terdapat dalil bahwa maksud sabda Nabi SAW pada hadis Abu Hurairah,
ﻧﻔﺲاﻟﻤٶﻣﻦﻣﻌﻠﻘﻪﺑﺪﻳﻨﻪﺣﺘﻰﻳﻘﻀﻰﻋﻨﻪ (Jiwa seorang mukmin tergantung dengan [karena] utangnya hingga dilunasi) adalah selain para nabi. Karena jiwa para nabi tidak tergantung dengan utang, dan ini merupakan keistimewaan mereka.
Hadis tersebut telah di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban dan selainnya dengan lafazh ﻣﻦﻟﻢﻳﺘﺮكﻋﻨﺪﺻﺎﺣﺐاﻟﺪﻳﻦﻣﺎﻳﺤﺼﻞﻟﻪﺑﻪاﻟﻮﻓﺎٴ (Barang siapa tidak meninggalkan pada pemberi utang sesuatu yang bisa melunasi utang...). Pendapat ini menjadi kecendrungan al-Mawardi.
Sementara itu, Ibnu Ath-Thala’ dalam kitab Aqdhiyah An-Nabawiyah menyebutkan bahwa Abu Bakar menebus baju besi yang dimaksud setelah Nabi SAW wafat. Akan tetapi Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Jabir bahwa Abu Bakar memenuhi kebutuhan istri-istri Nabi SAW dan Ali melunasi utangnya. Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Asy-Sya’bi secara mursal, ٲﺑﺎﺑﻜﺮاﻓﺘﻚاﻟﺪرعﻮﺳﻠﻤﻬﺎﻟﻌﻠﻲﺑﻦٲﺑﻲﻃﺎﻟﺐ  ٲن ( Sesungguhnya Abu Baka menebus baju besi,lalu menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib). Adapun mereka yang mengatakan bahwa Nabi menebusnya sebelum wafat, telah bertentangan dengan hadis ‘Aisyah RA.
2.      Metode Pendekatan dan Pemahaman Hadis.
Metode Komprimistis: Pendekatan Ushul Fiqh (‘am-khas).
ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد:ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل:ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ
ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎلٳﺑﺮاﻫﻴﻢ:ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد˛ﻋﻦﻋﺎﺋﺸﻪرﺿﻲﷲﻋﻨﻬﺎ:ٲن
اﻟﻨﺒﻲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺳﻠﻢاﺷﺘﺮیﻣﻦﻳﻬﻮديﻃﻌﺎﻣﺎٳﻟﻰٲﺟﻞ˛ﻮرﻫﻨﻪدرﻋﻪ
Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.
Dari Anas RA, dia berkata, “Sungguh Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya karena (mengutang) sya’ir (jenis gandum). Aku berjalan kepada Nabi SAW dengan membawa roti dari sya’ir dan ihalah yang aromanya mulai berubah. Sungguh aku telah mendengar beliau bersabda, ‘Tidak ada di waktu pagi dan juga sore bagi keluarga Muhammad kecuali satu sha’, padahal mereka ada sembilan rumah’.”
Makna Hadis:
1)      Hadis pertama bersifat umum, yakni bahwa Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk membeli makanan. Di sini tidak disebutkan jenis makanan yang ada, sehingga dapat dipahami bahwa jenis makanan apapun dapat digadaikan.
2)      Hadis kedua menyatakan bahwa Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya karena mengutang makanan sejenis gandum (sya’ir). Dari hadis kedua ini, pernyataan yanga da menunjukkan bahwa makanan yang dapat digadaikan adalah jenis makanan pokok. Karena sya’ir adalah jenis makanan pokok pada masa itu.
3)      Penyelesaian: keumuman hadis pertama ditakhsis oleh hadis kedua; Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk membeli makanan (hadis 1), bahwa Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk membeli sya’ir atau jenis gandum atau makanan pokok pada masa itu (hadis 2). Maka ini menunjukkan bahwa jenis makanan yang dapat digadaikan kepada orang lain (termasuk non-muslim) adalah jenis makanan pokok pada wilayah itu dan bukan jenis makanan lainnya.
D.    Komentar Orientalis
Akad penggadaian adalah akad yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian dan menjamin utang. Tujuannya bukanlah untuk menumbuhkan harta atau mencari keuntungan. Dan karena demikian ini halnya, tidak halal bagi penggadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, meskipun pegadai mengizinkannya. Apabila dia mengambil manfaat dari barang yang digadaikan maka ini adalah piutang yang mendatangkan manfaat.
Dan setiap piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba. Seperti sabda Rasul :
كلّ فرض جرّ منفعة فهوربا ( رواه االحارث بن ابي أسامة
“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” (HR. Harits bin Abi Usamah).
Ini berlaku apabila gadaian bukanlah binatang yang biasa ditunggangi atau diperah susunya. Apabila gadaian adalah binatang yang biasa di tunggangi atau diperah susunya maka penggadai boleh mengambil manfaat darinya sebagai kompensasi biaya yang dia keluarkan untuknya.  Sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai berkewajiban memberikan makanan, bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila barang gadaian berupa kendaraan. Jadi diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat, jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, sedangkan ulama syafi’iyah membolehkan sejauh tidak memadharatkan murtahin. Uraiannya adalah sebagai berikut :
1.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin. Begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizing rahin.mereka beralasan bahwa barang harus tetap dikuasai murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan ulama Hanabilah sebab manfaat yang ada dalam barang gadaian pada dasarnya termasuk rahn.
2.      Ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, akad menjadi batal. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan barang gadaian sekedarnya. Sebagian ulama Malikiyah, jika murtahin terlalu lama memanfaatkan ia harus membayarnya kecuali jika rahin mengetahui dan tidak mempermasalahkannya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar.
3.      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Jika tidak menyebabkan barang berkurang. Jika tidak menyebabkan berkurang , maka tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya, dll. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin kepada murtahin.

E.     Ranah Kekinian (Aktualisasi Hadits)
Ranah kekinian tentang gadai sebagai salah satu contoh adalah sebagaimana yang diatur dalam Dewan Syariah Nasional tentang gadai emas sebagai  berikut:
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn.
1.      Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
2.      Ketentuan Umum
a.       Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c.       Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d.      Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e.       Penjualan marhun
1.      Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
2.      Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syari’ah.
3.      Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
3.      Ketentuan Penutup
a.       Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
1.      Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn).
2.      Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3.      Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4.      Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.
4.      Aplikasi Produk
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1.      Sebagai Produk Pelengkap.
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabbahah. Pihak bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2.      Sebagai Produk Tersendiri.
Bedanya dengan pegadaian konvensional, dalam rahn (pegadaian syari’ah) nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
5.      Kesimpulan
Pada dasarnya rahn di dalam Islam dibolehkan, dengan landasan Firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah SAW di atas, kemudian di perjelas lagi dengan di keluarkannya fatwa Dewan Syari’ah Nasional sebagai acuan di dalam penerapannya di berbagai lembaga-lembaga keuangan syari’ah khususnya Bank Syari’ah maupun Pegadaian Syari’ah.
Jika rahn diterapkan di dalam Bank Syari’ah untuk menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang telah diberikan oleh pihak bank. Kemudian apabila rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu bagi saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.

F.     Analisis Hadits
1.      Boleh bermuamalah dengan orang-orang kafir dan hal itu bukan termasuk condong kepada mereka yang dilarang. As-Shan’any berkata, “sebagaimana yang sama-sama diketahui dalam agama, hal itu sebagai kebutuhan mendesak. Rasulullah saw dan para sahabat menetap di Makkah selama 13 tahun dan mereka bermuamalah dengan orang-orang musyrik. Lalu beliau menetap di Madinah selama 10 tahun, bersama para sahabat beliau bermuamalah dengan Ahli Kitab dan juga datang ke pasar-pasar mereka.”
Boleh bermuamalah dengan orang yang mayoritas hartanya merupakan harta haram, selagi tidak diketahui objek muamalahnya adalah haram. As-Shan’any berkata, “Di sini terkandung dalil untuk tidak melihat bagaimana cara muamalah di lingkungan mereka. Karena sebagaimana yang diketahui, mereka menjual khamr dan barang-barang yang diharamkan. Tapi tidak seharusnya kita mencari tahu muamalah mereka dan bagaimana cara mereka mendapatkan uang. Tapi kita harus bermuamalah dengan suatu muamalah bersama orang yang di tangannya ada harta yang halal, sehingga ada kejelasan kebalikannya, yang di antara misalnya adalah kezhaliman


[1] http://www.ensiklopedi9.com diakses tanggal 22 Desember 2012
[2] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 27,Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal. 443
[3] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 18, Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal. 450
[4] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 4,Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal 171
[5] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 3, Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal. 242
[6] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 4, Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal. 312
[7] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 35,Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal 227
[8] Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 27,Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal 447