Kamis, 15 November 2012

Kaum Khawarij dan Kaum Murji'ah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman  bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib memicu berbagai persoalan kalam. Ketegangan antara  Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkrital menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau La hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.[1]
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah. Syiah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase  yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali yaitu Syiah dan kelompok lain menolak sikap Ali yaitu Khawarij.[2]
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44.[3]
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1.      Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2.      Aliran Murjiah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau mendukungnya.
3.      Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir (al manzilah manzilatain).
Adapun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelompok kaum Khawarij dan kaum Murjiah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang kemunculan kaum Khawarij dan kaum Murjiah?
2.      Bagaimana ajaran pokok kaum Khawarij dan kaum Murjiah?
3.      Apa saja sekte dan ajaran-ajarannya kaum Khawarij dan kaum Murjiah?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang kemunculan kaum Khawarij dan kaum Murjiah.
2.      Mengetahui ajaran pokok kaum Khawarij dan kaum Murjiah.
3.      Mengetahui sekte dan ajaran-ajarannya kaum Khawarij dan kaum Murjiah.




















BAB II
PEMBAHASAN
A.    KHAWARIJ
1.      Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut ALI bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[4]
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di baiat oleh mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagipula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hamper memperoleh kemenangan pada peperangan ini, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.[5]
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk mengehntikan peperangan.[6]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai tetapi orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yaitu Ali diturunkan dari khalifah dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang Khawarij. Mereka membelot dan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru.”  Pada saat itu juga orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.[7]
2.      Ajaran Pokok Khawarij
Ajaran pokok Khawarij adalah sebagai berikut:[8]
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam;
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat;
c.       Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
d.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap telah menyeleweng;
e.       Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng;
f.       Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir;
g.      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir;
h.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkhis lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula;
i.        Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (negara Islam);
j.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng;
k.      Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surge, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka)
l.        Amar ma’ruf nahi munkar;
m.    Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasabihat (samar);
n.      Qur’an adalah makhluk;
o.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis, doktrin yang dikembangkang Khawarij dalam tiga kategori:politik, teologi dan sosial. Dari poin a sampai g dikategorikan sebagai doktrin politi sebab membicarakan hal-hak yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara.
Melihat pengertian politik secara praktis yakni kemahiran bernegara atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi dan hasrat mengapa manusia ingin memperoleh kekuasaan, Khawarij dapat dikategorikan sebagai partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara karena ia seorang tulaqa (bekas kaum musrikin Mekkah yang dinyatakan bebas dari hari jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin).[9] Kebencian ini bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.[10]
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi dosa besar sebagaimana pada poin h dan k. akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, Khawarij harus menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan ditumpas oleh pemerintah. Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini sebagian besar sudah musnah.[11] Akan tetapi, menurut Watt, Khawarij berubah dan menjadi suatu cara membangun suatu komunitas kecil yang erat dan secara relative mengasingkan diri dari dunia Islam, salah satu bagian sekte Khawarij yaitu golongan Ibadiyah masih bisa didapati sampai sekarang. Ibadiyah adalah bentuk Islam yang dominan di kesultanan Muskat dan Oman (menyebar Zanzibar) dan ada beberapa kantong penganut Ibadiyah di Afrika Utara. Jumlah mereka semuanya kurang dari setengah juta.[12]
Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yakni doktrin politik. Radikalitas ini sangat dipengaruhi oleh sisi budaya mereka yang juga radikal serta asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat Badawi dan pengembara padang pasir tandus. Hal intu menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi keras, berani, tidak bergantung pada orang lain dan bebas. Namun, mereka fanatik dalam menjalankan agama.[13]
Sifat fanatik itu biasanya mendorong seseorang berfikir simplisitis; berpengetahuan sederhana; melihat pesan berdasarkan pada data dan konsistensi logis; bersandar lebih banyak pada sumber pesan daripada isi pesan; mencari informasi tentang kepercayaan orang lain; mempertahankan secara kaku sistem kepercayaannya; dan menolak, mengabaikan, dan mendistorsi pesan yang tidak konsisten dengan system kepercayaannya.[14]
Orang-orang yang mempunyai prinsip Khawarij ini sering menggunakan cara kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya.[15] Sejarah mencatat bahwa kekerasan  pernah memegang peranan penting.
Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni dari pon j sampai o dapat dikategorikan sebagai doktrin teologi social. Doktrin ini memperlihtkan kesalehan asli kelompok Khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu’tazilah meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok Khawarij patut dikaji lebih mendalam.[16] Dapat diasumsikan bahwa orang-orang yang bahwa orang yang keras dalam pelaksaan ajaran agama, sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak tekstualitas/skripturalis sehingga menjadi fundamentalis. Kesan skripturalis dan fundamentalis itu tidak Nampak dalam poin j sampai o. namun bila doktrin teologis-sosial ini benar-benar merupakan doktrin Khawarij, dapat diprediksikan bahwa kelompok Khawarij pada dasarnya orang-orang baik. Hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah pola pikirnya yang simplistic telah menjadikan mereka bersikap ekstrim.[17]
3.      Sekte dan Ajaran-ajaran Khawarij
1)      Sekte Al-Muhakimah
Kelompok khalifah sekte Al-Muhakimah dengan pimpinan Abdulah bin Wahab Al-Rasibi melakukan pemberontakan di Nahrawan serta membunuh Abdullah ibnu Al-Khabab dan istrinya. Karena perbuatan mereka kelompok Al-Muhakimah ini terpaksa dihancurkan dan dihapuskan Ali, tetapi dari sebagaian dari kelompok Al-Muhakimah dapat melarikan diri di antarnya dua orang ke Sijistan, dua orang ke Yaman, dua orang ke Oman, dua orang ke Al-Jazair dan satu orang ke Talmuzan. Sisa-sisa Al-Muhakimah ini kelak membuat kelompok baru yang dikenal dengan sekte Al-Zariqah.[18]
2)      Sekte Al-Zaraqiyah
Sisa al-Muhakimah mengadakan konsolidasi dan mendirikan kelompok baru dibawah pimpinan Nafi ibn Al-Zaraqiyah. Mereka golongan kuat dan dapat menguasai Ahwaz serta daerah sekitarnya. Perlu juga diketahui bahwa dalam mereka masih belum melupakan peritiwa pahit karena kekalahan dari pihak Ali akibat ketidakjujuran dari Muawiyah dan rekan-rekannya, sehingga wajar jika ajaran dari teologi mereka sangat keras.
Pokok-pokok ajarannya sebagai berikut:
a.       Semua penduduk yang tidak mau membantu gerakan mereka adalah musrik. Alasannya karena mereka menyeru masyarakat kepada seruan Rasul, jadi jika menolak adalah syirik.
b.      Wilayah yang tidak menyetujui paham mereka dinilai Daru Syirkah. Haram hukumnya menjalin kasih saying, pernikahan, serta bermukim ditengah-tengah mereka, haram waris-mewarisi, haram memakan sembelihan mereka, tidak boleh menerima kesaksian mereka, boleh membunuh mereka termasuk anak-anak wanitanya.
c.       Penzina mukhson boleh dirajam tapi cukup didera saja, karena nash hanya menyuruh mencambuknya.
d.      Tidak boleh taqiyah (menyembunyikan pendirian)
e.       Dosa besar dan kecil boleh terjadi pada diri nabi.[19]
Untuk menjadi penganut teologi Khawarij sekte Azraqiyah harus melalui ujian. Calon anggota diberi tawanan, jika tawanan itu dibunuhnya berarti ia lulus. Akan tetapi jika tidak dibunuh maka dialah yang dibunuh. Kadang tawanan itu berasal dari sukunya, sehingga putuslah hubungan dengan sukunya dan semakin eratlah hubungan Azraqiyah.[20]
3)      Sekte An-Najdah
Karena paham Azraqiyah terlalu keras, maka orang-orang yang tidak setuju kepada paham itu lantas memisahkan diri, antara lain rombongan Abu Fuadik yang pergi menuju Yamanah. Kelompok mereka semakin besar setelah mampu menarik hati Najdah bin Amir Al-Hanafi berserta rombongannya yang semula berminat bergabung dengan golongan Azraqiyah. Najdah yang di baiabh tahun 66 H beserta rombongannya menguasai daerah Bahrain Hadral Maut Yaman dan Thaib. Pokok ajaran mereka adalah:
a.       Haram membunuh anak-anak dan wanita yang tidak sepaham dengan kelompok Najdah. Namun demikian bagi anak-anak muslim yang dewasa yang tidak sepaham tetap dinilai kafir (sama dengan pendapat Azraqiyah).
b.      Muslim tidak ikut berziarah atau perang bersama mereka tidaklah musrik.
c.       Non muslim (Ahluzinnah) yang tinggal di luar daerah Najdah halal dibunuh.
d.      Taqiyah demi menyelamatkan diri tidak dilarang.
e.       Dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi dosa besar dan pelakunya akan musyrik. Allah mungkin akan menghukumnya, tetapi kalaupun Allah menghukumnya tidak akan memasukkannya ke neraka dan akhirya masuk. Dengan demikian asal muslim itu melaksanakan yang fundamental.[21]
4)      Sekte Al-Ajaridah
Athiah Al-Hanafi yang lari ke Sijistan bersama temannya yang bernama Abdur Karim Bin Arsyad membentuk kelompok baru yang dikenal dengan nama Al-Jaridah. Menurut golongan Ajaridah mereka tidak mengakui surat Yusuf yang ada dalam Al-Qur’an, sebab menurut mereka tidak layak ada kisah percintaan di dalam Al-Qur’an.[22]
Pokok-pokok ajaran mereka adalah:
a.       Kaum muslim yang tidak ikut berperang dari sekte Al-Ajaridah tidaklah muslim.
b.      Kaum muslim yang tidak ikut berhijrah ke Dar Islam juga tidak musyrik, karena hijrah itu tidak wajib, melainkan keutamaan saja.
c.       Harta yang boleh dijadikan rampasan adalah harta orang yang mati terbunuh dalam peperangan.
d.      Anak-anak musyrik tidak ikut menjadi musyrik.
5)      Sekte Ash-Shuryyah
Sekte ini dipimpin oleh Zaid ibn Al-Asfar. Mereka berpendapat:
a.       Orang Islam tidak turut serta berhijrah tidaklah kafir.
b.      Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah Zona Perang (Dar al-Harb). Daerah perang adalah kap pasukan pemerintah.
c.       Tidak semua orang yang berbuat dosa dinilai musyrik. Mereka mebagi dosa menjadi dua kelompok. Pertama dosa yang sangsinya hanya didunia seerti membunuh, berzina dan mencuri, ini tidak dinilai kafir. Kedua dosa yang sangsinya di akahirat seperti meninggalkan sholat dan puasa. Pelakunya dinilai kafir.[23]
d.      Kufur terbagi dua, pertama bi inkar-ni’mahmuddin.kedua kufur bi inkar al-rububiyah. Jadi istilah kafir tidak selamanyan berarti keluar dari Islam.
e.       Boleh taqiyah dalam perkataan tapi terlarang dalam perbuatan.
f.       Demi keamanan diri, perempuan Islam boleh menikah dengan laki-laki di daerah bukan Islam.
Melihat pendapat-pendapat mereka golongan ini agak moderat dibandingkan degan golongan lainnya.
6)      Sekte Ibadiyah
Tokoh pembawanya adalah Abdullah bin Ibadi yang memisahkan diri dari kelompok Azariqah tahun 66 H. Pokok-pokok ajaran mereka:
a.       Orang Islam di luar kelompok atau yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi kufur nikmat. Syahadatnya diterima, jadi haram dibunuh dan boleh mengadakan hubungan pernikahan.[24]
b.      Orang yang berbuat dosa besar adalah Muwhid (mengesakan Allah tetapi bukan mukmin). Kalaupun kufur hanyalah kufur nikmat bukan kufur nillah. Jadi tidak dinilai keluar dari agama Islam.
c.       Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah alat-alat perang seperti kuda dan senjata. Sedangkan harta mereka seperti emas dan perak tidak boleh dirampas dan harus dikembalikan.
Al-Ibadiyah merupakan kelompok Khawarij yang paling moderat. Jadi tidak heran jika mereka menjalin hubungan harmonis dengan pemerintah Abdul Malik bin Marwan. Demikian juga pemimpin Al-Ibadiyah berikutnya yang bernama Jabir Zayid Al-Azdi sanggup berhubungan hajjad, panglima bani Umayyah yang selalu bersikap keras dalam memerangi kaum khawarij lainnya.

B.     MURJIAH
1.      Latar Belakang Kemunculan Murjiah
Murji’ah berasal dari kata irja atau arja`a yang mempunyai makna penangguhan atau penundaan.[25] Kata arja’a juga mengandung arti memberi harapan ( I’tho` Al Roja`) dan mengakhirkan (Al Ta`khir). Oleh karena itu Murji’ah berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukannya masing – masing ke hari kiamat kelak. Selain itu juga berarti orang yang mengakhirkan amal dari pada iman,[26] maksudnya menganggap iman lebih penting dari pada amal.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal – usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja` atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik. Murji’ah baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[27]
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim ( arbitrase ) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang kontra. Kelompok yang kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir sama seperti perbuatan dosa besar lain seperti zina, membunuh tanpa alasan yang benar. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji`ah. Murji`ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuninya atau tidak.[28]

2.      Ajaran Pokok Murjiah
Adapun dibidang teologi, doktrin irja` dikembangkan Murji`ah ketika menanggapi persoalan – persoalan teologis yang muncul pada saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan – persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencangkup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al Qur’an, eksatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal Islam, hakikat Al Qur’an, nama dan sifat Allah serta ketentuan-Nya.[29]
Dalam doktrin – doktrinnya Murji`ah memiliki empat ajaran pokok : 
1.      Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al Asy`ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.[30]
Sedangkan menurut Watt yang dikutip oleh Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, doktrin Murjiah dirincinya sebagai berikut:
1.      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
2.      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalfah Ar-Rasyidin.
3.      Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.      Doktrin-doktrin Murjiah menyerupai pengajaran para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.[31]

3.      Sekte dan Ajaran-ajaran Murjiah
Secara garis besar Murji`ah diklasifikasikan menjadi dua sekte. Yaitu sekte yang moderat dan sekte yang ekstrim. Murji`ah moderat berpendirian bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka akan disiksa sebesar dosanya dan bisa juga diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul – RasulNya serta apa saja yang datang darinya secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman dalam hal ini tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al Hasan Bin Muhammad Bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.[32]
Sedangkan yang termasuk kelompok Murji`ah Ekstrim adalah sebagai berikut :
1.      Jahmiyah, kelompok Jahm Bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufuran itu bertempat di hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2.      Shalihiyah, Kelompok Abu Hasan Al Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3.      Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa – dosa dan perbuatan – perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4.      Ghasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “ Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula yang mengatakan,” Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain.[33]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Khawarij pada awalnya adalah penampilan Islam sebagai kekuatan politik, namun persoalan menjadi berubah, karena Khawarij memasukkan team kafi dalam pembicaraan apabila tuduhan kafir ditujukan kepada umat Islam. Hukum-hukum baik tentang dosa besar, syirik maupun terminology kafir harus dikemukakan, semula didasarkan kepada kepentingan-kepentingan politik bergeser menjadi masalah teologi.
2.      Pemecahan-pemecahan di antara mereka yang semula didominasi oleh sebab-sebab politik akhirnya berubah menjadi sekte-sekte aliran teologi Khawarij.
3.      Sekte-sekte khawarij ada 6 (enam) yaitu: al-Muhakimah, Al-Azraqiyah, An-Najdah, Al-Ajaridah, Ash-Shufriyah, Al-Ibadiyah.
4.      Aliran Murji’ah adalah salah satu Aliran yang yang menentang Aliran Khawarij tentang status kafir bagi pelaku dosa besar.
5.      Penyebab kemunculan Aliran Murji’ah adalah persoalan politik
6.      Terdapat banyak pendapat dan teori tentang pengklasifikasian sekte – sekte aliran Murji’ah.

B.     Saran
1.      Kami menghimbau kepada teman – teman seperjuangan untuk mencari lebih luas tentang aliran Khawarij dan Murji’ah yang belum bisa kami bahas pada makalah kami ini.


[1] W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta:P3M, 1987) hal. 10
[2] Ibid., hal 6-7
[3] Ibid.,
[4] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 11
[5] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal. 50
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid., hal 51
[9] Muhammad al-Ghazali, Fiqhu As-Sirah, terj. Abu Laila, (Al-Ma’arif, t.t), hal. 647
[10] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,… hal. 52
[11] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 11
[12] Montgomerry W. Watt, Kejayaan Islam:Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), Hal. 67
[13] Ushuludin Hutagalung, The Arabs a Short Story, terj. Ushuludin Hutagalung dkk. (Bandung: Sumur Bandung, t.t), hal. 18
[14] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,… hal. 53
[15] Ibid.,
[16] Ibid., hal 53-54
[17] Ibid.,
[18]  -------,Sejarah dan Pokok Ajaran Khawarij, http://madarikyahya.wordpress.com/2009/07/03/ diakses tanggal 26 Oktober 2012
[19] Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta:P3M, 1987), hal. 45
[20] -------,Sejarah dan Pokok Ajaran Khawarij, http://madarikyahya.wordpress.com/2009/07/03/ diakses tanggal 26 Oktober 2012
[21] Ibid.,
[22] As-Syahrastani, Al-Milal wa an Nihal, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1992), hal 128
[23] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 19
[24] Ibid., hal 19
[25] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al Ashri, (Krapyak: Multi Karya Grafika, , 1998), hal 76
[26] Abi Al fath Muhammad Abd Al Karim, Milal Wa Al Nihal, (Beirut : Dar Al Fikr, 2005), hal 112
[27] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak,  Ilmu Kalam, … hal 56
[28] Ibid., hal. 57
[29] Ibid., hal. 59
[30] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985),  hal. 22-23
[31] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak,  Ilmu Kalam, … hal 58
[32] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hal. 24
[33] Ibid., 26-27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar