BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib memicu berbagai persoalan kalam.
Ketegangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi
Thalib mengkrital menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang
menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Muawiyah dalam tahkim, sungguhpun dalam keadaan
terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa
persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan hanya datang dari Allah
dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau
La hukma illa Allah (tidak ada
perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi
Thalib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam
sejarah Islam mereka terkenal dengan nama Khawarij, yaitu orang yang keluar dan
memisahkan diri.[1]
Di
luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar tetap mendukung Ali.
Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah. Syiah muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang
Siffin. Sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan
Muawiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali
yaitu Syiah dan kelompok lain menolak sikap Ali yaitu Khawarij.[2]
Persoalan
kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir. Dalam arti siapa yang keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap
dalam Islam. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir
berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44.[3]
Persoalan
ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1. Aliran
Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa
besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad
dan wajib dibunuh.
2. Aliran
Murjiah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya,
hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau mendukungnya.
3. Aliran
Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat
di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula
mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir (al manzilah manzilatain).
Adapun
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelompok kaum Khawarij dan kaum
Murjiah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang kemunculan kaum
Khawarij dan kaum Murjiah?
2. Bagaimana ajaran pokok kaum Khawarij dan
kaum Murjiah?
3. Apa saja sekte dan ajaran-ajarannya kaum
Khawarij dan kaum Murjiah?
C. Tujuan
1. Mengetahui latar belakang kemunculan
kaum Khawarij dan kaum Murjiah.
2. Mengetahui ajaran pokok kaum Khawarij
dan kaum Murjiah.
3. Mengetahui sekte dan ajaran-ajarannya
kaum Khawarij dan kaum Murjiah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KHAWARIJ
1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa
Arab yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul atau memberontak. Adapun yang dimaksud khawarij dalam
terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut ALI bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi
Sufyan perihal persengketaan khilafah.[4]
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan
pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang
telah di baiat oleh mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak
yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagipula berdasarkan estimasi
Khawarij, pihak Ali hamper memperoleh kemenangan pada peperangan ini, tetapi
karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang
hampir diraih itu menjadi raib.[5]
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik
ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan
itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais,
Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat
terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk mengehntikan
peperangan.[6]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud
mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai tetapi orang
Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari
kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa
Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
Keputusan tahkim, yaitu Ali
diturunkan dari khalifah dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali
sangat mengecewakan orang-orang Khawarij. Mereka membelot dan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia.
Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi
mereka artikan dengan keliru.” Pada
saat itu juga orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.[7]
2. Ajaran Pokok Khawarij
Ajaran
pokok Khawarij adalah sebagai berikut:[8]
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat Islam;
b. Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat;
c. Khalifah dipilih secara permanen selama
yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
d. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar
dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya,
Utsman dianggap telah menyeleweng;
e. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah
terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng;
f. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa
Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir;
g. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali
juga kafir;
h. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi
disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkhis lagi, mereka
menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula;
i.
Setiap
muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau
bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap
berada dalam dar al-Islam (negara
Islam);
j.
Seseorang
harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng;
k. Adanya wa’ad dan wa’id (orang
yang baik harus masuk surge, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka)
l.
Amar
ma’ruf nahi munkar;
m. Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang
tampak mutasabihat (samar);
n. Qur’an adalah makhluk;
o. Manusia bebas memutuskan perbuatannya
bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis, doktrin yang dikembangkang Khawarij
dalam tiga kategori:politik, teologi dan sosial. Dari poin a sampai g
dikategorikan sebagai doktrin politi sebab membicarakan hal-hak yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara.
Melihat pengertian politik secara praktis yakni
kemahiran bernegara atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam
memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi dan
hasrat mengapa manusia ingin memperoleh kekuasaan, Khawarij dapat dikategorikan
sebagai partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral
Khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara
teoritis tidak pantas memimpin negara karena ia seorang tulaqa (bekas kaum musrikin Mekkah yang dinyatakan bebas dari hari
jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin).[9]
Kebencian ini bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama.[10]
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap
tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang
yang mengusahakannya menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk
membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi dosa besar sebagaimana pada
poin h dan k. akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, Khawarij harus
menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan ditumpas oleh pemerintah.
Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini
sebagian besar sudah musnah.[11]
Akan tetapi, menurut Watt, Khawarij berubah dan menjadi suatu cara membangun
suatu komunitas kecil yang erat dan secara relative mengasingkan diri dari
dunia Islam, salah satu bagian sekte Khawarij yaitu golongan Ibadiyah masih bisa
didapati sampai sekarang. Ibadiyah adalah bentuk Islam yang dominan di
kesultanan Muskat dan Oman (menyebar Zanzibar) dan ada beberapa kantong
penganut Ibadiyah di Afrika Utara. Jumlah mereka semuanya kurang dari setengah
juta.[12]
Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya
merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yakni doktrin politik.
Radikalitas ini sangat dipengaruhi oleh sisi budaya mereka yang juga radikal
serta asal-usul mereka yang berasal dari masyarakat Badawi dan pengembara
padang pasir tandus. Hal intu menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi
keras, berani, tidak bergantung pada orang lain dan bebas. Namun, mereka
fanatik dalam menjalankan agama.[13]
Sifat fanatik itu biasanya mendorong seseorang
berfikir simplisitis; berpengetahuan sederhana; melihat pesan berdasarkan pada
data dan konsistensi logis; bersandar lebih banyak pada sumber pesan daripada
isi pesan; mencari informasi tentang kepercayaan orang lain; mempertahankan
secara kaku sistem kepercayaannya; dan menolak, mengabaikan, dan mendistorsi
pesan yang tidak konsisten dengan system kepercayaannya.[14]
Orang-orang yang mempunyai prinsip Khawarij ini
sering menggunakan cara kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya.[15]
Sejarah mencatat bahwa kekerasan pernah
memegang peranan penting.
Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni dari pon j
sampai o dapat dikategorikan sebagai doktrin teologi social. Doktrin ini
memperlihtkan kesalehan asli kelompok Khawarij sehingga sebagian pengamat
menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu’tazilah meskipun kebenaran
adanya doktrin ini dalam wacana kelompok Khawarij patut dikaji lebih mendalam.[16]
Dapat diasumsikan bahwa orang-orang yang bahwa orang yang keras dalam pelaksaan
ajaran agama, sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak
tekstualitas/skripturalis sehingga menjadi fundamentalis. Kesan skripturalis
dan fundamentalis itu tidak Nampak dalam poin j sampai o. namun bila doktrin
teologis-sosial ini benar-benar merupakan doktrin Khawarij, dapat diprediksikan
bahwa kelompok Khawarij pada dasarnya orang-orang baik. Hanya saja keberadaan
mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya
dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah pola pikirnya yang simplistic telah
menjadikan mereka bersikap ekstrim.[17]
3. Sekte dan Ajaran-ajaran Khawarij
1) Sekte Al-Muhakimah
Kelompok khalifah sekte
Al-Muhakimah dengan pimpinan Abdulah bin Wahab Al-Rasibi melakukan
pemberontakan di Nahrawan serta membunuh Abdullah ibnu Al-Khabab dan istrinya.
Karena perbuatan mereka kelompok Al-Muhakimah ini terpaksa dihancurkan dan
dihapuskan Ali, tetapi dari sebagaian dari kelompok Al-Muhakimah dapat
melarikan diri di antarnya dua orang ke Sijistan, dua orang ke Yaman, dua orang
ke Oman, dua orang ke Al-Jazair dan satu orang ke Talmuzan. Sisa-sisa
Al-Muhakimah ini kelak membuat kelompok baru yang dikenal dengan sekte
Al-Zariqah.[18]
2) Sekte Al-Zaraqiyah
Sisa al-Muhakimah
mengadakan konsolidasi dan mendirikan kelompok baru dibawah pimpinan Nafi ibn
Al-Zaraqiyah. Mereka golongan kuat dan dapat menguasai Ahwaz serta daerah
sekitarnya. Perlu juga diketahui bahwa dalam mereka masih belum melupakan
peritiwa pahit karena kekalahan dari pihak Ali akibat ketidakjujuran dari
Muawiyah dan rekan-rekannya, sehingga wajar jika ajaran dari teologi mereka
sangat keras.
Pokok-pokok ajarannya
sebagai berikut:
a. Semua penduduk yang tidak mau membantu
gerakan mereka adalah musrik. Alasannya karena mereka menyeru masyarakat kepada
seruan Rasul, jadi jika menolak adalah syirik.
b. Wilayah yang tidak menyetujui paham
mereka dinilai Daru Syirkah. Haram hukumnya menjalin kasih saying, pernikahan,
serta bermukim ditengah-tengah mereka, haram waris-mewarisi, haram memakan
sembelihan mereka, tidak boleh menerima kesaksian mereka, boleh membunuh mereka
termasuk anak-anak wanitanya.
c. Penzina mukhson boleh dirajam tapi cukup
didera saja, karena nash hanya menyuruh mencambuknya.
d. Tidak boleh taqiyah (menyembunyikan
pendirian)
e. Dosa besar dan kecil boleh terjadi pada
diri nabi.[19]
Untuk
menjadi penganut teologi Khawarij sekte Azraqiyah harus melalui ujian. Calon
anggota diberi tawanan, jika tawanan itu dibunuhnya berarti ia lulus. Akan
tetapi jika tidak dibunuh maka dialah yang dibunuh. Kadang tawanan itu berasal
dari sukunya, sehingga putuslah hubungan dengan sukunya dan semakin eratlah
hubungan Azraqiyah.[20]
3) Sekte An-Najdah
Karena paham Azraqiyah
terlalu keras, maka orang-orang yang tidak setuju kepada paham itu lantas
memisahkan diri, antara lain rombongan Abu Fuadik yang pergi menuju Yamanah.
Kelompok mereka semakin besar setelah mampu menarik hati Najdah bin Amir Al-Hanafi
berserta rombongannya yang semula berminat bergabung dengan golongan Azraqiyah.
Najdah yang di baiabh tahun 66 H beserta rombongannya menguasai daerah Bahrain
Hadral Maut Yaman dan Thaib. Pokok ajaran mereka adalah:
a. Haram membunuh anak-anak dan wanita yang
tidak sepaham dengan kelompok Najdah. Namun demikian bagi anak-anak muslim yang
dewasa yang tidak sepaham tetap dinilai kafir (sama dengan pendapat Azraqiyah).
b. Muslim tidak ikut berziarah atau perang
bersama mereka tidaklah musrik.
c. Non muslim (Ahluzinnah) yang tinggal di
luar daerah Najdah halal dibunuh.
d. Taqiyah demi menyelamatkan diri tidak
dilarang.
e. Dosa kecil yang dilakukan terus menerus
akan menjadi dosa besar dan pelakunya akan musyrik. Allah mungkin akan
menghukumnya, tetapi kalaupun Allah menghukumnya tidak akan memasukkannya ke
neraka dan akhirya masuk. Dengan demikian asal muslim itu melaksanakan yang
fundamental.[21]
4) Sekte Al-Ajaridah
Athiah
Al-Hanafi yang lari ke Sijistan bersama temannya yang bernama Abdur Karim Bin
Arsyad membentuk kelompok baru yang dikenal dengan nama Al-Jaridah. Menurut
golongan Ajaridah mereka tidak mengakui surat Yusuf yang ada dalam Al-Qur’an,
sebab menurut mereka tidak layak ada kisah percintaan di dalam Al-Qur’an.[22]
Pokok-pokok
ajaran mereka adalah:
a. Kaum muslim yang tidak ikut berperang
dari sekte Al-Ajaridah tidaklah muslim.
b. Kaum muslim yang tidak ikut berhijrah ke
Dar Islam juga tidak musyrik, karena hijrah itu tidak wajib, melainkan
keutamaan saja.
c. Harta yang boleh dijadikan rampasan
adalah harta orang yang mati terbunuh dalam peperangan.
d. Anak-anak musyrik tidak ikut menjadi
musyrik.
5) Sekte Ash-Shuryyah
Sekte ini dipimpin oleh
Zaid ibn Al-Asfar. Mereka berpendapat:
a. Orang Islam tidak turut serta berhijrah
tidaklah kafir.
b. Daerah orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka bukanlah Zona Perang (Dar al-Harb). Daerah perang adalah kap
pasukan pemerintah.
c. Tidak semua orang yang berbuat dosa
dinilai musyrik. Mereka mebagi dosa menjadi dua kelompok. Pertama dosa yang
sangsinya hanya didunia seerti membunuh, berzina dan mencuri, ini tidak dinilai
kafir. Kedua dosa yang sangsinya di akahirat seperti meninggalkan sholat dan
puasa. Pelakunya dinilai kafir.[23]
d. Kufur terbagi dua, pertama bi inkar-ni’mahmuddin.kedua kufur bi inkar al-rububiyah. Jadi istilah
kafir tidak selamanyan berarti keluar dari Islam.
e. Boleh taqiyah dalam perkataan tapi
terlarang dalam perbuatan.
f. Demi keamanan diri, perempuan Islam
boleh menikah dengan laki-laki di daerah bukan Islam.
Melihat pendapat-pendapat mereka
golongan ini agak moderat dibandingkan degan golongan lainnya.
6) Sekte Ibadiyah
Tokoh pembawanya adalah
Abdullah bin Ibadi yang memisahkan diri dari kelompok Azariqah tahun 66 H.
Pokok-pokok ajaran mereka:
a. Orang Islam di luar kelompok atau yang
tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi kufur
nikmat. Syahadatnya diterima, jadi haram dibunuh dan boleh mengadakan hubungan
pernikahan.[24]
b. Orang yang berbuat dosa besar adalah
Muwhid (mengesakan Allah tetapi bukan mukmin). Kalaupun kufur hanyalah kufur
nikmat bukan kufur nillah. Jadi tidak dinilai keluar dari agama Islam.
c. Yang boleh dirampas dalam perang
hanyalah alat-alat perang seperti kuda dan senjata. Sedangkan harta mereka
seperti emas dan perak tidak boleh dirampas dan harus dikembalikan.
Al-Ibadiyah
merupakan kelompok Khawarij yang paling moderat. Jadi tidak heran jika mereka
menjalin hubungan harmonis dengan pemerintah Abdul Malik bin Marwan. Demikian
juga pemimpin Al-Ibadiyah berikutnya yang bernama Jabir Zayid Al-Azdi sanggup
berhubungan hajjad, panglima bani Umayyah yang selalu bersikap keras dalam
memerangi kaum khawarij lainnya.
B. MURJIAH
1. Latar Belakang Kemunculan Murjiah
Murji’ah berasal dari kata irja atau arja`a
yang mempunyai makna penangguhan atau penundaan.[25]
Kata arja’a juga mengandung arti memberi harapan ( I’tho` Al Roja`) dan
mengakhirkan (Al Ta`khir). Oleh karena itu Murji’ah berarti orang
yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Mu’awiyah serta pasukannya masing – masing ke hari kiamat kelak. Selain itu
juga berarti orang yang mengakhirkan amal dari pada iman,[26]
maksudnya menganggap iman lebih penting dari pada amal.
Ada
beberapa teori yang berkembang mengenai asal – usul kemunculan Murji’ah.
Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja` atau arja dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi pertikaian politik. Murji’ah baik sebagai kelompok
politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah
dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[27]
Teori lain
menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah,
dilakukan tahkim ( arbitrase ) atas usulan Amr bin Ash, seorang
kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu yang pro dan yang
kontra. Kelompok yang kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij.
Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al Qur’an, dalam
pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat
dihukumi kafir sama seperti perbuatan dosa besar lain seperti zina, membunuh
tanpa alasan yang benar. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang
kemudian disebut Murji`ah. Murji`ah mengatakan bahwa pembuat dosa
besar tetap mukmin tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah,
apakah Dia akan mengampuninya atau tidak.[28]
2. Ajaran Pokok Murjiah
Adapun
dibidang teologi, doktrin irja` dikembangkan Murji`ah ketika
menanggapi persoalan – persoalan teologis yang muncul pada saat itu. Pada
perkembangan berikutnya, persoalan – persoalan yang ditanggapinya menjadi
semakin kompleks sehingga mencangkup iman, kufur, dosa besar dan ringan,
tauhid, tafsir Al Qur’an, eksatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman
Nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir dikalangan generasi awal Islam, hakikat
Al Qur’an, nama dan sifat Allah serta ketentuan-Nya.[29]
Dalam
doktrin – doktrinnya Murji`ah memiliki empat ajaran pokok :
1. Menunda
hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al Asy`ary yang terlibat tahkim
dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan
(pentingnya) iman dari pada amal.
4. Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.[30]
Sedangkan menurut Watt yang dikutip
oleh Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, doktrin Murjiah dirincinya sebagai berikut:
1. Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
2. Penangguhan
Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalfah Ar-Rasyidin.
3. Pemberian
harapan (giving of hope) terhadap
orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin
Murjiah menyerupai pengajaran para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.[31]
3. Sekte dan Ajaran-ajaran Murjiah
Secara
garis besar Murji`ah diklasifikasikan menjadi dua sekte. Yaitu sekte
yang moderat dan sekte yang ekstrim. Murji`ah moderat berpendirian
bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula
kekal dalam neraka. Mereka akan disiksa sebesar dosanya dan bisa juga diampuni
oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan
tentang Tuhan dan Rasul – RasulNya serta apa saja yang datang darinya secara
keseluruhan namun dalam garis besar. Iman dalam hal ini tidak bertambah dan
tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas
pendirian ini adalah Al Hasan Bin Muhammad Bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dan beberapa ahli hadits.[32]
Sedangkan
yang termasuk kelompok Murji`ah Ekstrim adalah sebagai berikut :
1. Jahmiyah, kelompok Jahm Bin Shafwan dan para
pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan
kufuran itu bertempat di hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2. Shalihiyah, Kelompok Abu Hasan Al Shalihi,
berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak
tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah
adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan
haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3. Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan
pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman
seseorang. Mati dalam iman, dosa – dosa dan perbuatan – perbuatan jahat yang
dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil
bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4. Ghasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang
mengatakan, “ Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu
apakah babi yang diharamkan adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap
mukmin bukan kafir. Begitu pula yang mengatakan,” Saya tahu Tuhan mewajibkan
naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau
tempat lain.[33]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Khawarij pada awalnya adalah penampilan
Islam sebagai kekuatan politik, namun persoalan menjadi berubah, karena
Khawarij memasukkan team kafi dalam pembicaraan apabila tuduhan kafir ditujukan
kepada umat Islam. Hukum-hukum baik tentang dosa besar, syirik maupun
terminology kafir harus dikemukakan, semula didasarkan kepada
kepentingan-kepentingan politik bergeser menjadi masalah teologi.
2. Pemecahan-pemecahan di antara mereka
yang semula didominasi oleh sebab-sebab politik akhirnya berubah menjadi
sekte-sekte aliran teologi Khawarij.
3. Sekte-sekte khawarij ada 6 (enam) yaitu:
al-Muhakimah, Al-Azraqiyah, An-Najdah, Al-Ajaridah, Ash-Shufriyah, Al-Ibadiyah.
4. Aliran
Murji’ah adalah salah satu Aliran yang yang menentang Aliran Khawarij
tentang status kafir bagi pelaku dosa besar.
5. Penyebab
kemunculan Aliran Murji’ah adalah persoalan politik
6. Terdapat
banyak pendapat dan teori tentang pengklasifikasian sekte – sekte aliran Murji’ah.
B. Saran
1. Kami
menghimbau kepada teman – teman seperjuangan untuk mencari lebih luas tentang
aliran Khawarij dan Murji’ah
yang belum bisa kami bahas pada makalah kami ini.
[1] W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj.
Umar Basalim, (Jakarta:P3M, 1987) hal. 10
[2] Ibid., hal 6-7
[4] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 11
[5] Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2003), hal. 50
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid., hal 51
[9] Muhammad al-Ghazali, Fiqhu As-Sirah, terj. Abu Laila,
(Al-Ma’arif, t.t), hal. 647
[10] Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,… hal. 52
[11] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 11
[12] Montgomerry W. Watt, Kejayaan Islam:Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), Hal. 67
[13] Ushuludin Hutagalung,
The Arabs a Short Story, terj.
Ushuludin Hutagalung dkk. (Bandung: Sumur Bandung, t.t), hal. 18
[14] Rosihon Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,… hal. 53
[15] Ibid.,
[16] Ibid., hal 53-54
[17] Ibid.,
[18] -------,Sejarah
dan Pokok Ajaran Khawarij, http://madarikyahya.wordpress.com/2009/07/03/ diakses tanggal 26
Oktober 2012
[19] Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta:P3M,
1987), hal. 45
[20] -------,Sejarah dan Pokok Ajaran Khawarij, http://madarikyahya.wordpress.com/2009/07/03/ diakses tanggal 26
Oktober 2012
[21] Ibid.,
[22] As-Syahrastani, Al-Milal wa an Nihal, (Beirut: Dar
al-Kutb al-Ilmiyah, 1992), hal 128
[23] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 19
[24] Ibid., hal 19
[25] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al Ashri,
(Krapyak: Multi Karya Grafika, , 1998), hal 76
[28] Ibid., hal. 57
[29] Ibid., hal. 59
[30] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1985), hal. 22-23
[32] Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan,… hal. 24
[33] Ibid., 26-27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar