Sabtu, 17 November 2012

Sejarah Turunnya Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Rasulullah SAW bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal. Barangsiapa berpegang kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, dua hal tersebut adalah Kitab Allah dan Sunnahku.”
Oleh karena itu Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah verbeum dei (kalamu-Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Jibril selama kurang lebih 23 tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun. Seperti firmankan Allah swt dalam surat Al-Hasyr ayat 21 yang artinya: “Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena gentar kepada Allah.”[1] Kandungan pesan Illahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al-Qur’an, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum muslimin tentunya akan sulit dipahami.[2]
Al-Qur’an memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif.[3] Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi keluarga.[4] Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap muslim.
Sejumlah pengamat Barat memandang Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.[5] Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka.[6] Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar 20 tahunan, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.[7] Kaum muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya telah menghasilkan berton-ton kitab tafsir yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang menurut mereka maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Sejak pewahyuannya hingga kini, Al-Qur’an telah mengarungi sejarah panjang selama 14 abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan Al-Qur’an oleh Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H dan abad ke-4 H serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standart Al-Qur’an di Mesir pada 1342 H, kitab suci kaum muslimin ini masih menyimpan sejumlah misteri dalam berbagai tahapan perjalanan kesejahteraannya.[8]
Oleh karena itu perlu bagi kita sebagai kaum muslimin untuk mempelajari Al-Qur’an sebagaimana materi yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW?
2.      Bagaimana proses penyimpanan Al-Qur’an dalam tulisan dan hafalan?
3.      Bagaimana nilai keaslian dan otentisitas dokumen, arsip, tulisan mushaf Al-Qur’an?
4.      Bagaimana pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar?
5.      Bagaimana pembukuan Al-Qur’an ke-II oleh Utsman?
6.      Bagaimana usaha menjaga keaslian arsip Al-Qur’an?
7.      Bagaimana kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
2.      Mengetahui proses penyimpanan Al-Qur’an dalam tulisan dan hafalan.
3.      Mengetahui nilai keaslian dan otentisitas dokumen, arsip, tulisan mushaf Al-Qur’an.
4.      Mengetahui pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar.
5.      Mengetahui pembukuan Al-Qur’an ke-II oleh Utsman.
6.      Mengetahui usaha menjaga keaslian arsip Al-Qur’an
7.      Mengetahui kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Proses Turunnya Wahyu Allah Kepada Nabi Muhammad SAW
Secara syar’i wahyu berarti kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi.[9] Sedangkan Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu dalam Risalatut Tauhid adalah “pengertahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak.”[10]
Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi disampiakan kepada Nabi Muhammad saw melalui proses yang disebut inzal,  yaitu proses perwujudan Al-Qur’an (izhhar Al-Qur’an) dengan cara: Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad.[11] Ada juga ulama yang membedakan antara al-inzal dan al-tanzil. Yang pertama berarti proses turunnya Al-Qur’an ke al-lawh al-mahfuzh, sedangkan yang kedua berarti proses penyampaian Al-Qur’an dari al-lawh al-mahfuzh kepada Nabi melalui Jibril.[12]
Terdapat beberapa pendapat mengenai proses turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, antara lain sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke al-lawh al-mahfuzh. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Buruj ayat 21 yang artinya “bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia. Yang di simpan di al-lawh al-mahfuzh.
2.       Al-Qur’an diturunkan ke al-lawh al-mahfuzh ke langit bumi sekaligus, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun.[13]
Menurut Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan adalah: Pertama,diturunkan di Lauhul Mahfudz menurut cara yang mengetahuinya hanya Allah dan siapa yang diperlihatkan akan hal-hal yang gaib.  Kedua, dari Luahul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia yang diturunkan dalam suatu malam. Ia disifatkan oleh Al-Qur’an dengan Lailati Mubarakaatin.  Ketiga, dari Baitul Izzah ke bumi ke hati para Nabi dan Rasul terakhir yaitu Rasulullah saw. Ini ialah tahap akhir yang bercahaya padanya kemanusiaan, secara keseluruhan, bagi manusia di bumi. Ia dibawa oleh jibril.[14]
Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur mempunyai beberapa hikmah. Menurut Manna al-Qattan adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengehuhkan hati Nabi Muhammad saw mengingat watak keras masyarakat yang dihadapi Nabi, dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memperkuat hati Nabi. Tidak sedikit ayat yang secara langsung meminta Nabi untuk bersabar dalam mengembangkan misinya, seperti Q.S. Al-An’am ayat 33-34 dan Q.S. Al-Ahqaf ayat 35.
b.      Sebagai mukjizat. Mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi dari kaum kafir, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang bernada memojokkan, seperti tentang hal-hal gaib, Nabi merasa terbantu dengan turunnya ayat yang menjelaskan pertanyaan tersebut. Hal ini juga diakui dalam Q.S. Al-Furqan ayat 33.
c.       Untuk memudahkan hafalan dan pemahaman Al-Qur’an. Sekiranya Al-Qur’an turun sekaligus, sulit untuk segera dihafal dan dipahami isinya.
d.      Untuk menerapkan hukum secara bertahap. Penghapusan beberapa tradisi masyarakat Arab secara serentak amat sulit. Dengan proses dan pentahapan, lambat laun masyarakat tersebut lebih bisa menerima hukum-hukum baru dari Al-Qur’an.
e.       Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an adalah bukan rekayasa Nabi Muhammad atau manusia biasa. Meskipun rangkaian ayat-ayatnya turun selama kurang lebih 23 tahun, tetapi kandungannya tetap konsisten secara keseluruhan.[15]
B.       Proses Penyimpanan Al-Qur’an Dalam Tulisan dan Hafalan
Proses penyimpanan Al-Qur’an dimulai dengan kegiatan mengumpulkan. Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) adalah: Pertama, pengumpulan dalam arti hifdzuhu (menghafalkannya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya Huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabuhu Kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan sura-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lain. Ketiga, pengumpulan dalam arti merekam suara bacaan Al-Qur’an yaitu pelestarian Al-Qur’an dengan cara merekam pita suara.[16]
Pada masa Rasulullah saw masih hidup ayat ayat hanya dihafal dalam hati. Yang mula-mula hafal dan pandai membacanya hanya Rasulullah. Beliau senantiasa menunggu-nunggu akan turunnya Al-Qur’an dengan kerinduan dan hendak cepat membacanya, sehingga ia dimantapkan Allah dalam waktu membacanya.[17] Maka Allah menurunkan firmannya dalam surat Al-Qiyaamah ayat 16-18 yang artinya: “janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah untuk mengumpukan dan membacanya, apabila Kami telah selesai membacanya ikutilah bacaannya.”[18]
Setelah itu para sahabat Rasulullah ikut menghafal A-Qur’an karena senang mereka terhadap dasar agama Islam dan sumber kerasulan. Setiap ada ayat yang turun, maka dihafal dalam hati dan dipeliharakan hati, disamping kuatnya bangsa Arab mengenai ingatan sebagai ganti ketiidakmampuan mereka membaca kasara dalam menuliskan berita, syair, keturunan hanya dengan menyimpannya dalam hati mereka. Banyak para sahabat Rasulullah yang hafal Al-Qur’an sehingga diriwayatkan dalam hadis-hadis bahwa ada 70 orang di zaman Rasulullah yang gugur syahid para Qari, di telaga Ma’uunah. 70 orang pula pada peperangan Yamammah. Kejadian itu mendorong para sahabat hendak mentadarus Al-Qur’an dan menghidupkan malam mereka dengannya. Rasulullah sendiripun mendorong mereka untuk itu dan beliau sedia mendengarkan bacaan mereka.[19]
Upaya lain yaitu menuliskan Al-Qur’an di zaman Rasulullah sehingga beliau mengangkat jadi juru tulis wahyu dari tokoh-tokoh sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai binKa’ab, Zaid bin Tsabit dan Muawiyah.[20]
Bila ayat telah turun, maka Rasululah menyuruh mereka menuliskannya dan menunjukkan di surat mana letaknya. Sebagian sahabat menuliskannya atas kemauan sendiri. Mereka tulislah ayat pada daun kering, kulit binatang kering, pelepah korma kering, perca-perca, pecahan alat dari tanah liat dan tulang-tulang yang bersih. Para sahabat membacakan tulisannya kepada Rasulullah sebagai mencek kebenarannya, baik berbentuk hafalan atau tulisan. Menurut ulama, bahwa yang paling akhir mencek itu adalah Zaid bin Tsabit, sehingga kalifah Abu Bakar dan kalifah Utsman menunjukknya sebagai ketua panitia pengumpul Al-Qur’an. Semua diambil dari hafalan di hati, yang ditulis dengan huruf. Sebelumnya Al-Qur’an itu tidak ditulis pada satu keping mushaf saja, karena Al-Qur’an turun terpencar-pencar dan sewaktu-waktu. Ayat-ayat dan surat-suratnya belum berurut dalam satu keping mushaf. Masa ini dsebut dengan pengumpulan pertama dari Al-Qur’an dengan panitia 26 orang.[21]
C.      Nilai Keaslian dan Otentisitas Dokumen, Arsip, Tulisan Mushaf Al-Qur’an
Keaslian al-Qur’an di kalangan Muslim adalah suatu kepastian, susunan dan materinya. Selain karena penjagaan Allah, hal ini tidak lepas dari usaha Rasulullah dan para penerusnya hingga saat ini dalam menjaga keaslian al-Qur’an; huruf perhuruf, ayat perayat, hingga surat dan susunannya. Dengan begitu umat Muslim terhindar dari peringatan Allah swt. untuk tidak merubah al-Qur’an sebagaimana yang pernah dilakukan oleh umat sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan kitab-kitab yang terdahulu – Taurat, Zabur, Injil- maka Al-Qur’anlah yang paling bisa dikatakan lebih otentik karena beberapa hal :[22]
·            Ditulis saat Rasulullah masih hidup, dengan larangan penulisan masalah lainnya yaitu hadits, sehingga kemungkinan adanya pencampuran adalah kecil. Sementara yang lain seperti Perjanjian Lama yang merupakan himpunan kitab/fasal, ditulis selama lebih dari dua abad setelah musnahnya teks asli pada zm. Nebukadnezar, yang ditulis kembali berdasarkan ingatan semata oleh seorang pendeta Yahudi yang bernama Ezra dan dilanjutkan oleh pendeta – pendeta Yahudi atas perintah raja Persia , Cyrus pada tahun 538 sebelum Masehi.
·            Al-Qur’an masih memakai bahasa asli sejak wahyu diturunkan yaitu Arab, bukan terjemahan. Bagaimanapun terjemah telah mengurangi keotentikan suatu teks.
Bibel sampai ketangan umatnya dengan Bahasa Latin Romawi. Bahasa Ash Taurat adalah Ibrani, sedang bahasa Ash Injil adalah Aramaik. Keduanya disajikan bersama dalam paket Bibel berbahasa Latin yang disimpan dan disajikan untuk masing-masing negara melalui bahasanya sendiri-sendiri, dengan wewenang penuh untuk mengubah dan mengganti sesuai keinginan
.
·            Al-Qur’an banyak dihafal oleh umat Islam dari zaman Rasulullah sampai saat ini. Sedangkan Bibel, boleh dibilang tidak ada. Jangankan dihapal, di Indonesia sendiri Bibel umat Katolik baru boleh dibaca oleh umatnya pada tahun 1980.
·            Materi Al-Qur’an tidak bertentangan dengan akal, dan relevan sepanjang masa. Sementara Bibel mengandung banyak hal-hal yang tidak masuk akal dan mengandung pornografi.
Dapat diketahui bahwa otentisitas dan orisinalitas Al-Qur’an sepanjang sejarahnya tetaplah terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka tidak perlu diragukan lagi keaslian Al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu Nabi Muhammad saw., sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa Arab maupun non Arab. Bukti historis telah memberikan data yang akurat akan keasliaannya. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi, antara lain:
1.      Ini disebabkan karena bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar kata (asal kata). Maka maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut, sebagaimana dilihat dari definisi Al-Qur’an itu sendiri yang tidak jauh dari makna asal katanya yaitu membaca. Sehingga Al-Qur’an berarti bacaan.
2.      Proses pembukuan dan pembakuan Al-Qur’an dimulai sejak Rasulullah saw, setiap kali menerima wahyu Al-Qur’an, Rasulullah langsung mengingat, menghafalnya dan memberitahukan dan membacanya kepada para sahabat agar mereka mengingat dan menghafal pula. Namun, demi menjamin terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ayat turun, Nabi Muhammad saw memanggil para sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya. Sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya.
3.      Setiap periwayatan di dalam mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an juga menjadi salah satu standar keotentikan Al-Qur’an. Sehingga tidak hanya bersandar kepada data-data tertulis seperti beberapa mushaf yang ditulis oleh para sahabat sesuai dengan pemahamannya akan turunnya ayat per ayat tau mushaf yang telah di himpun pada masa Abu Bakar. Periwayatan ini lebih menekankan kepada kepercayaan perawi (sosok kepribadian perawi) bahwa ia seorang yang adil dan kuat hafalannya. Dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir.[23]
D.      Pembukuan Al-Qur’an Oleh Abu Bakar
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, terjadi perang Yamamah pada tahun 12 H. Banyak terjadi pembunuhan dikalangan sahabat, akibatnya para penghafal Al-Qur’an banyak yang wafat. Dalam perang ini, para sahabat penghafal Al-Qur’an yang wafat di medan perang mencapai 70 orang. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khathab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan Al-Qur’an yang masih ada di lembaran-lembaran. Pada awalnya Abu Bakar ragu menerima usulan Umar bin Khathab karena hal ini belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, namun karena Umar bin Khathab terus mendesak akhirnya Abu Bakar menerima usulan tersebut. Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit menjadi coordinator tim pengumpulan Al-Qur’an.terpilihnya Zaid karena kecerdasannya dalam bidang baca tulis dan pemahamannya yang mendalam tentang Al-Qur’an. Setelah Zaid bin Tsabit menerima penjelasan dari Abu Bakar dan Umar bin Khathab, tugas tersebut bisa dilaksanakan dengan baik.[24]
Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah SAW. Lembaran-lembaran Al-Qur’an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah SAW. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat, yaitu: 1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2) Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.
Saking telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-Taubah tersebut ditulis di hadapan Rasululllah SAW, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.
Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat Al-Qur’an, namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan Al-Qur’an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan Al-Qur’an untuk ditulis dalam satu mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah SAW ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur’an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Setelah Abu Bakar wafat lembaran-lembaran Al-Qur’an berada pada Umar bin Khathab. Kemudian setelah Umar bin Khathab wafat lembaran-lembaran Al-Qur’an bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.[25]

E.       Pembukuan Al-Qur’an Ke-II Oleh Utsman
Masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan. Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur’an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca Al-Qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan Bashrah.[26] Setiap pembaca menggunakan bacaannya masing-masing dan menyalahkan bacaan orang lain sehingga permasalahan tersebut menjadi besar dan perselisihan pun semakin memuncak. Kenyataan ini mengejutkan Utsman dan dia khawatir bahwa akibat dari perselisihan ini akan mengurangi keyakinan terhadap Al-Qur’an dan bacaannya yang telah pasti dan merupakan pegangan kaum muslimin.
Kekhawatiran akan perpecahan umat Islam akhirnya terjadi. Hal ini terbukti dengan munculnya perang Armenia, perang yang terjadi antara penduduk Syam dengan penduduk Irak yang dipicu oleh perbedaan bacaan Al-Qur’an. Kemudian Utsman bermusyawarah dengan sahabat mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Kemudian Utsman dan para sahabat sepakat untuk menyatukan umat Islam pada satu mushaf agar tidak terjadi pertentangan dan perselisihan dalam masalah bacaan tersebut. kemudian Utsman mengirimkan lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, yang setelah wafat berpindah kepada Umar kemudian keterangan Hafshah untuk dijadikan pijakan dalam menghimpun Al-Qur’an.  Kemudian Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-‘Ash, dan Addurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin lembaran tersebut ke dalam mushaf.[27]

F.       Perbedaan antara Pembukuan Abu Bakar dan Utsman
Pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan Utsan dalam motif dan caranya.[28] Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para Qari. Sedangkan motif Utsman dalam mengumpulkan Al-Qur’an ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Al-Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang , tulang, peleah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dngan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al-Qur’an itu diturunkan.[29]
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Utsman adalah menyalinnya menjadi satu huruf di anatara ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnu Tin dan yang lain mengatakan:”perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar  disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur’an karena kematian penghafalnya, sebab ketika itu Al-Qur’an belum terkumpul disatu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka. Sedang pengumpulan Utsman sebabnya adalah banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan, khawatir akan timbulnya bencana, Utsman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa quraisy saja dengan alasan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja. Al-Haris al-Muhasibi mengatakan “Yang masyhur dikalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Al-Qur’an itu Utsman. Padahal sebenarnya tidak demikian, Utsman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam wajah (qiraat), itupun atas dasar kesepakatan antara dia dan dengan kaum muhajirin dan anshor yang hadir dihadapannya. Serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Al-Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dulu mengumpulkan Al-Qur’an secara keseluruhan adalah Abu Bakar.[30]
Dengan usahanya itu Utsman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepangjang zaman. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Utsman ke berbagai daerah:
a.       Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya 7 buah mushaf yang dikirimkan ke Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata:’telah ditulis 7 buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam,  Basyrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah.”
b.      Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada 4 buah masing-masing dikirimkan ke Iraq, Syam, Mesir dan mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan Mushaf Imam berkata Abu Amr ad-Dani dalam al-Muqni.” Sebagian ulama berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak 4 buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing 1 buah: ke Kuffah, Basyrah, Syam dan ditinggalkan 1 buah untuk dirinya sendiri.”
c.       Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya 5. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.[31]
G.      Usaha Menjaga Keaslian Arsip Al-Qur’an
Usaha menjaga keaslian arsip Al-Quran telah dilakukan sejak Rasulullah menerima wahyu, yaitu:
1.      Pengumpulan Al-Qur’an dengan menghafalnya pada masa Rasulullah;
2.      Pengumpulan Al-Qur’an dengan penulisan yang dilakukan mulai masa Rasulullah dan diikuti dalam setiap masanya, seperti pada masa kalifah Abu Bakar, kalifah Utsman bin Affan;
3.      Pengumpulan Al-Qur’an dengan rekaman suara bacaan.
Yang dimaksud dengan memelihara Al-Qur’an melalui rekaman adalah pelestarian Al-Qur’an dengan cara merekam pita suara.  Sudah diketahui bahwa terdapat hukum-hukum bacaan (tajwid) yang harus diperhatikan oleh pembaca Al-Qur’an. Hukum tersebut seperti Qalqalah, ar-raum, al-ikhfa’, al-idgham dan lain-lain. Hal ini bukanlah hal mudah karena cukup menyulitkan dalam penulisan.
Oleh karenanya para ulama menetapkan bahwa tidak sah berpegang kepada yang tertulis dalam mushaf belaka, akan tetapi harus menerima dari orang yang hafal Al-Qur’an yang dipercaya. Para ulama mengatakan,:”bencana terbesar adalah berguru kepada lembaran-lembaran kasar.” Bahkan para ulama mengatakan: “jangan kalian mempelajari Al-Qur’an dari mushafku, juga jangan mengambil ilmu dari suhufku.”[32]
Rasulullah mengutus orang-orang yang ahli membaca Al-Qur’an (Qurra) kepada orang yang baru masuk Islam untuk mengajarkan bacaan Al-Qur’an serta kalau mungkin menuliskan untuk mereka. Pada masa khalifah meninggal Rasulullah mereka mengikuti jejaknya dan mereka mengutus ahli-ahli baca Al-Qur’an ke negeri-negeri taklukan untuk mengajar warga negaranya membaca Al-Qur’an. Ketika Utsman menyalin mushaf, beliau mengirim mushaf-mushaf ke negerinegeri tersebut dengan didampingi oleh seorang ahli baca Al-Qur’an pada masing-masing mushaf.
Tidak diragukan lagi, hal ini menunjukkan bahwa betapa hukum-hukum bacaan tidak mungkin kuat, kecuali lewat penerimaan lisan secara langsung. Untuk menguatkan hanya bisa lewat media yang merupakan metode para ahli baca Al-Qur’an. sementara pada masa sekarang, media dan alat perekam suara telah ditemukan dan bacaan bisa di ulang kembali.
Hasil produk rekaman ini adalah al-Mushaf al-Murotal  yang diprakarsa oleh Urtadz Labib as-Said. Yang dimaksud al-Mushaf al-Murotal adalah bentuk rekaman yang memperdengarkan Al-Qur’an dengan peralatannya berupa perangkat rekaman modern, sejumlah kaset dan piringan hitam. Adapun sebab-sebab yang menasari upaya ini adalah:
1)      Tuntutan pelestarian Al-Qur’an;
2)      Memudahkan memahami Al-Qur’an serta menghafalkannya;
3)      Pentingnya mempertahankan Al-Qur’an dalam menghadapi para “pencela” Al-Qur’an, serta menghadapi setiap usaha untuk menyelewengkan Al-Qur’an, juga setiap halangan yang diletakkan di depan kesatuan pengikut-pengikutnya, serta didepan penyebarannya, pembagiannya diantara orang-orang Islam. Hal ini bisa ditumbuhkan dalam studio, audio, dan sejenisnya;
4)      Menolong Mushaf AL-Utsmani yang telah mempersatukan umat Islam.
5)      Menghindari berbagai penyimpangan terhadap Al-Qur’an;
6)      Penyebaran bahasa Al-Qur’an dan memperkokoh persatuan umat Islam.

H.      Perbandingan Kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel
Jika dibandingkan dengan kitab-kitab yang terdahulu – Taurat, Zabur, Injil- maka Al-Qur’anlah yang paling bisa dikatakan lebih otentik karena beberapa hal :
1.    Ditulis saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, dengan larangan penulisan masalah lainnya yaitu hadits, sehingga kemungkinan adanya pencampuran sangat kecil. Sementara yang lain seperti Perjanjian Lama yang merupakan himpunan kitab/fasal, ditulis selama lebih dari dua abad setelah musnahnya teks asli pada zaman Nebukadnezar, yang ditulis kembali berdasarkan ingatan semata oleh seorang pendeta Yahudi yang bernama Ezra dan dilanjutkan oleh pendeta – pendeta Yahudi atas perintah raja Persia , Cyrus pada tahun 538 sebelum Masehi.
2.    Al-Qur’an masih memakai bahasa asli sejak wahyu diturunkan yaitu Arab, bukan terjemahan. Bagaimanapun terjemah telah mengurangi keotentikan suatu teks.
Bibel sampai ketangan umatnya dengan Bahasa Latin Romawi. Bahasa Asli Taurat adalah Ibrani, sedang bahasa Asli Injil adalah Aramaik. Keduanya disajikan bersama dalam paket Bibel berbahasa Latin yang disimpan dan disajikan untuk masing-masing negara melalui bahasanya sendiri-sendiri, dengan wewenang penuh untuk mengubah dan mengganti sesuai keinginan.
3.    Al-Qur’an banyak dihafal oleh umat Islam dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai saat ini. Sedangkan Bibel, boleh dibilang tidak ada. Jangankan dihafal, di Indonesia sendiri Bibel umat Katolik baru boleh dibaca oleh umatnya pada tahun 1980.
4.    Materi Al-Qur’an tidak bertentangan dengan akal, dan relevan sepanjang masa. Sementara Bibel mengandung banyak hal-hal yang tidak masuk akal dan mengandung pornografi.[33]
























BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
1.      Proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW adalah memlaui perantara malaikat Jibril dari Lauhul Mahfudz dan secara berangsur-angsur dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun.
2.      Proses penyimpanan Al-Qur’an dalam tulisan dan hafalan dilakukan dengan hafalan dalam hati oleh para huffaz dan menuliskannya dalam pelepah pohon, tulang, kulit dan daun kering.
3.      Nilai keaslian dan otentisitas dokumen, arsip, tulisan mushaf Al-Qur’an terbukti dengan tetap menggunakan bahasa Arab, pembukuan dilakukan sejak Rasulullah masih hidup dan periwayatannya mutawatir.
4.      Pembukuan Al-Qur’an oleh Abu Bakar motifnya adalah untuk menghindari hilangnya Al-Qur’an karena Huffaz banyak yang meninggal dalam peperangan.
5.      Pembukuan Al-Qur’an ke-II oleh Utsman motifnya adalah untuk menyamakan bacaan agar tidak teradi perselisihan.
6.      Usaha menjaga keaslian arsip Al-Qur’an dilakukan dengan cara Pengumpulan Al-Qur’an dengan menghafalnya pada masa Rasulullah; Pengumpulan Al-Qur’an dengan penulisan yang dilakukan mulai masa Rasulullah dan diikuti dalam setiap masanya, seperti pada masa kalifah Abu Bakar, kalifah Utsman bin Affan; Pengumpulan Al-Qur’an dengan rekaman suara bacaan
7.      Kemurnian Al-Qur’an dengan Bibel.

B.     Saran
1.      Mahasiswa harus lebih meningkatkan pengetahuan dan pembelajaran tentang Al-Qur’an karena bukan hal yang mustahil tindakan penyelewengan dan pencela terhadap Al-Qur’an akan tetap ada, dan jika para ahli sudah tidak ada maka tidak akan ada yang bisa dijadikan patokan serta pembendung dari tindakan tersebut.



[1] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, hal 548
[2] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 1
[3] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin, (Jakarta:INIS, 1997), hal. 9
[4] Montgomerry W. Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970), hal. xi
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 2
[9] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis, (Yogyakarta:Teras, 2008), hal. 4
[10] Ibid.,
[11] Muhammad Badruddin al-Zarkasi,  Al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an, Juz I, (Mesir:Isa al-Bab al-Halabi, t.t), hal. 229
[12] Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur’an,(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008), hal. 18
[13]Ibid.,
[14] Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rineka Cipta, 2004), hal. 24-25
[15] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj. Muzakkir AS: Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta:Litera Antar Nusa, 1994), hal 157
[16] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis,... hal.77
[17] Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, hal. 109
[18] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, hal  235
[19] Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, hal. 110
[20] Ibid.,
[21] Ibid., 111
[22] Abiy Rikza, Sejarah Pembukuan dan Pembakuan Al-Qur’an http://answeringkristen.wordpress.com/sejarah-dan-keaslian-al-qur%E2%80%99an/ diakses tanggal 26 Oktober 2012

[23] Abiy Rikza, Sejarah Pembukuan dan Pembakuan Al-Qur’an, http://answeringkristen.wordpress.com/sejarah-dan-keaslian-al-qur%E2%80%99an/ diakses tanggal 26 Oktober 2012
[24] Muhammad bin Mahmud Abu Syiban, Studi Ulum Al-Qur’an Alih Bahasa (Bandung: CV Pustaka Setia, 1992), 24.
[27] Muhammad bin Mahmud Abu Syiban, Studi Ulum Al-Qur’an Alih Bahasa ,… hal. 24.
[28] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadis,... hal. 98
[29] Ibid.,  hal 99
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,  hal. 101
[32] Ibid., hal. 102
[33] Sejarah Keaslian Al-Qur’an dalam http://answeringkristen.wordpress.com/sejarah-dan-keaslian-al-qur%E2%80%99an/ diakses pada tanggal 29 Oktober 2012